Selamat Datang di Blog Diary Saya...

Anda dapat menelusuri Tulisan Lengkap saya tentang Proses Utuh Perjalanan Spiritual di:
http://katharsis-completejourney.blogspot.com/
Tulisan saya yang lain :
http://taskm.blogspot.com

31 Desember 2008

Jurang Kasih Ketidaktahuan

Di dalam kedalaman yang paling dalam, ketakutan besar memperlihatkan wujudnya... raja dari segala ketakutan. Sungguh, ternyata hidup ini dapat kita fahami, tapi bukan karena kerumitannya yang tanpa jalan keluar... yang menjadi raksasa dari segala ketakutan. Begitu acak, kekosongan tanpa makna. Inilah yang kudapati dari tengah malam yang hening.
Kepolosan dari segala anak! Aku menyimpan kasih eksistensi untuk setiap mereka yang kutemui, bukan terletak pada satu anak, tapi di dalam satu anak aku dapat melihat jiwa dari segala anak... Perhatian yang dalam memang!

Roh Semestaku tiba – tiba memperlihatkan kepadaku: bahwa semua orang yang kukunjungi menjadi jiwa seorang anak... kepolosannya, ketidaktahuan-nya akan kehidupan ini. Sungguh berbahaya jurang kasih ini. Inilah yang membuatku gelisah. Banyak kulihat dari mata orang–orang dewasa, ketidaktahuan-nya kadang mengejar-ngejar ingin membunuhku… Apakah batu sandaran terakhir adalah roh semestaku? Sepertinya tidak demikian, justru raja ketidaktahuan ini berada di dalam setiap langkah dari roh semestaku. Ya, sebuah tanggungan yang begitu besar. Aku seperti memikul beban ketidaktahuan seluruh mahkluk bumi, andai jiwaku berada di puncak... Bagaimana ini? Hal ini dapat berlangsung di setiap saat. Inilah puncak–puncak terberat. Ia bukan lagi beban karena kehilangan materi, bukan juga hati yang patah karena mencinta.
Beban yang membumi dan menjulang ke semesta ini... harus kuberitakan kefanaan ini. Ia mendesakku. Aku harus berhati–hati! Pemberitaan ini dapat menjadi arus balik yang mematikan, karena tanggungannya akan bertambah dari dunia bawah.
Apakah aku masih bergelantungan di udara? Karena kurasakan desakan dari roh semesta, sekaligus desakan dari dunia manusia.

Pemberitaan yang tanpa berharap. Andai tanpa berharap, bagaimana aku harus memecahkan batu keras ketidaktahuan umat manusia?! Inilah segala dari yang berat. Tanggungan yang datang dari laut terdalam dan puncak – puncak gunung, bahkan matahari dan bulan pun ikut–ikutan berdiri di pundakku, dan segala benda di semesta raya ini…

Tapi, di dalam kediaman yang maha berat itu, aku perlu mengundang semacam egoisme Roh Semesta… egoisme surgawi... Menikmati jiwa terdalam, sendirian! Ya, taman yang sangat luas dan hijau, tapi tidak kutemui sesosok wujud sepertiku di sini... Hanya pernah sesekali kulihat, ada orang tua bongkok yang berlalu di kejauhan taman. Siapa sesungguhnya dia? Apakah dia memiliki resep pemberitaan akan adanya taman ini bagi manusia–manusia di dunia? Aku tidak yakin, pernah kukirim anak jiwa terdalamku untuk melihat kedalaman hatinya, tapi yang kutemukan adalah kekecewaan semesta yang membeku dan membuta. Pernah kunasehati kepadanya, ”Buanglah batu itu, egoisme surgawi sedang menunggu!”

Lalu, kebijaksanaan-nya yang bongkok berkata, “Anak muda, egoisme roh semesta yang belum matang yang engkau nikmati. Di dalam taman ini kita memiliki tugas terberat... Raja–raja kekecewaan-lah yang ada di sini. Apa engkau sanggup membuangnya? Kekecewaan surgawi, aku menyebut pada akhirnya”.

Oh kedalaman, sesungguhnya aku pun memahami hal itu, subuh hari, di dalam taman ini. Kekecewaan surgawi dan kebahagiaan surgawi berdiri di hadapanku. Aku bersujud, silahkan kalian merasuk ke dalam tubuhku, biar kulampaui... Andai di dalam kalian masih ada jalan.
Jalan!… jalan! Mungkinkah itu surga pribadi? Tapi surga pribadiku adalah tanpa batas, hanya aku yang memahami bagaimana berbicara dengan matahari dan bulan, dan hanya aku yang mampu meneriakkan dan menerbangkan suaraku, serta menanyakan kabar pada bintang yang paling jauh…
Jangan mengatakan ini surga pribadi, wahai seluruh mahkluk bumi dan surga, terutama engkau orang tua bongkok! Di sinilah tempat persinggahan terakhir kita, yang sebenarnya rumah dari seluruh makhluk semesta, termasuk ular–ular dan babi–babiku yang sering dikutuk…
Di dalam sini, kita semua akan melihat bagaimana tikus bersahabat dengan kucing… dan serigala-serigala bermain di padang domba.
Kewajaran pada kelahiran dan kematian, akan kita lihat di sini yang memenuhi kehendak bumi!


katharsis-holydiary[07012004(3)-00:45)]

30 Desember 2008

Pergi Tanpa Tujuan

Baru saja, aku kedatangan laba – laba hijau. Layaknya penerjun udara yang ahli, ia meloncat dari dedaunan yang paling tinggi di atas kepalaku. Penerjun yang hebat dan berani. Memang, ia ditakdirkan untuk hidup bergelantungan di udara. Kedinamisan yang lamban pada alam juga tercermin pada tempat dan bentuk fisik dari mahkluk hidup. Laba–laba hijau adalah mahkluk transisi antara hewan darat dan udara.
Demikian, darat dan air, darat dan bawah tanah atau udara di atas udara...
Jiwa terdalamku dapat menjadi semua mahkluk tersebut, tapi tubuhku tidaklah demikian.
Golok yang membengkok sejajar gerakan tangan, agar tenaga penebasan didukung oleh alam dan akan lebih kuat... Maka, demikian juga kuatur bengkokan jiwaku, agar aku dapat hidup dalam dua dunia.

Ada kejanggalan di dalam diriku, yang selalu menghindar ke dalam kondisi manusia yang paling dikucilkan. Duduk di pojok koridor sekolahan di hari minggu sore yang sepi, tapi di sinilah pemikiran – pemikiran besar akan beranak pinak…
Ada begitu banyak orang yang terheran–heran melihatku... pergi tanpa tujuan. Apakah itu yang terpancar dari wajahku? Ya, memang demikian. Manusia yang memiliki rumah di mana – mana, itulah rumahku. Rumah yang paling buruk pun, menjadi rumahku. Takdir yang paling buruk pun sering kujumpai...
Aku ingin tahu, apakah kenakalan anak–anak sekolahan itu akan menjalar ke tempatku, yang kadang dapat menjadi sesuatu yang baik, sebagai nasehat untuk orang tua…


katharsis-holydiary[06012004(2)]

29 Desember 2008

Satu Mahkluk

Siang hari yang terik, kuumpankan diriku pada pohon di sampingku. Dengan penutup daun sedemikian lebat... segar bagi jiwaku!

Aku tahu benar, bahwa dedaunan bakau untuk menyerap tenaga sang surya, tapi ia selalu memiliki tempat untuk bertamu di siang hari seperti ini.
Memang, manusia dan pohon adalah satu mahkluk adanya. Dan jika kita mampu merasakan dengan Roh Semesta… seluruh dunia dan semesta ini, pada realitas terdalam adalah satu mahkluk... mahkluk yang besar memang.


katharsis-holydiary[06012004(2)]

11 Desember 2008

Penghakiman...

Suatu hari nanti akan kupasang mata kapak yang baru untuk menebang semua pohon rasionalitas yang tumbuh menjulang tinggi. Mata kapak yang paling mematikan, yang kutempa dan ku-asah di dalam hutan – hutan yang paling hening…

katharsis-holydiary[06012004(2)]

10 Desember 2008

Kehendak Utama dan Kehendak Turunan (II)

Sungguh sulit membawa berita keindahan alam pada manusia–manusia yang sedang mati... kematian yang masih bergerak! Kalau begitu, haruskah kusebut manusia seluruh bumi ini sebagai mayat yang hidup. Ya, beginilah perumpamaan dan mata dari Roh Semesta terhadap penduduk bumi.
Pisang–pisang yang dihasilkan, bahwa sang pohon berniat membuka pasar dengan kita manusia. Buah pisang adalah hasil dari kehendak turunan dari sang pohon, dan jika kita ingin mengambilnya haruslah kita tukar dengan kehendak turunan kita juga. Pekerjaan turunan kita harus satu bahasa dengannya…

Lihat anak–anak itu... keceriaan yang dalam, kusebut itu! Mereka perlu sang induk untuk membentuknya menjadi berdiri tegak di atas tanah. Adalah pekerjaan yang telah selesai untuk semua makhluk, jika semua keturunannya telah menemukan kehendak turunan-nya yang khas. Pada saat seperti itu, hidup dari sang induk sudah selesai untuk sang kehendak utama-nya sendiri. Apakah demikian?

Semangat yang ada, hanyalah godaan dari pada pikiran yang intuitif dan rasional… kehendak utama untuk beranak sudah redup. Apakah sudah selesai tugas untuk sang induk di dunia ini?
Tidaklah demikian, kehendak turunannya harus dilanjutkan untuk mencari Roh Semesta hingga menemui ajal...


katharsis-holydiary[06012004(2)]

09 Desember 2008

Kehendak Utama dan Kehendak Turunan

Aku harus belajar perumpamaan dari angin kali ini. Sungai ke-9 aku berhenti, dan aku beristirahat di sana. Lihatlah batang–batang pohon yang meruncing itu, siap ditancapkan ke tanah untuk membentuk jalur-jalur sungai. Sungguh sebuah kehendak turunan dari sang manusia untuk bertahan hidup... untuk memenuhi kehendak utama... kehendak untuk hidup.

Juga, kulihat tunas pisang yang baru tumbuh. Pelajaran tentang alam baru saja dimulai untuknya. Apakah engkau tahu, bahwa buah–buah yang tumbuh dari segala pikiran adalah seperti susu yang dihasilkan binatang. Itu adalah makanan yang dihasilkannya, di samping ada keturunan fisik, setumpuk makanan dari kehendak utama.

Agar kehendak utama dapat berjalan terus untuk dilengkapi dengan kehendak turunan: makanan seperti inilah yang patut disantap. Tanpa perlu sebuah proses pembakaran. Bicara soal pembakaran dalam hal ini berarti bicara soal esensialitas dari memasak. Api yang diperlukan dalam memasak. Pungutlah kayu–kayu dan tetumbuhan yang sudah mati. Di dalam kekeringan batang tua itu akan menyulut formasi dan bentuk api yang paling essensial untuk memasak, pembakaran! Bagaimana dengan daging–daging binatang dan daun–daun dari tetumbuhan? Apakah yang telah menghasilkan keturunan yang akan kita korbankan untuk kita santap? Tidaklah demikian. Dalam kehendak utama, untuk menyantap ada yang disebut pembunuhan secara acak dengan satu tujuan untuk disantap... santapan kehendak utama. Sedang, pengumpulan bahan makanan yang dikelola oleh satu tubuh untuk orang lain akan diperlukan media pertukaran, maka terjadilah pasar dan uang. Uang adalah lambang kapitalisme dan negara, perlu kita sadari hal itu!

Kutegaskan, bahwa pasar lebih esensial daripada uang... Pasar adalah seperti interaksi sosial yang esensial. Pertukaran barang yang hanya berlaku dan tentunya barang itu dihasilkan dari esensialitas perseorangan dalam pekerjaan – nya… mungkin sebut saja pekerjaan turunan.
Bagaimana seseorang menjalankan kehendak utamanya? Pada awalnya, ia dipengaruhi kehendak utama dan turunan dari orang–orang lain, kemudian membentuk karakter khas terhadap kehendak turunannya nanti…

Maka, andai budaya mencerminkan pengakuan keseragaman pada sesuatu yang sebenarnya khas secara kejiwaan adalah tidak perlu. Karena di dalam budaya, ada sebuah jebakan ikatan kelompok per kelompok yang dapat membutakan kehendak turunan yang sudah khas pada tiap orang. Maka, budaya adalah identik dengan negara. Keinginan untuk menaklukkan makhluk lain yang sebenarnya tidak esensial. Di sinilah akar dari segalanya dan terutama tentang tradisi agama...

Bagaimana dengan objektivitas rasionalitas, bukankah itu keseragaman yang perlu dipermasalahkan?
Bagaimana menciptakan keseragaman, agar dapat berkomunikasi, tapi semua masih melihat kehendak turunan dari pekerjaan yang paling hakiki? Apakah dalam keseragaman ada yang paling esensial?
Keseragaman yang sangat abstrak, sebuah bahasa yang bukan dengan tulisan ataupun bicara tentang tulisan, tidak ada huruf. Yang ada hanyalah nafas... gerakan dari seluruh tubuh..
Ya, jadilah manusia menjadi binatang, perlu direnungkan lebih lanjut!

katharsis-holydiary[06012004(2)]

08 Desember 2008

Perubahan Yang Tanpa Isi

Perjalanan menelusuri 9 anak sungai, yang kutemukan adalah keramaian yang semakin sepi... Selalu kulihat binatang–binatang sudah berada di rumahnya. Di sebuah pondok aku berhenti, di depanku mengalir anak sungai yang panjang dengan langit terang benderang di atasnya. Tapi tidak lama, hujan yang tidak diundang pun turun...

Keanehannya adalah: kenikmatan akan perubahan yang tanpa isi. Di mana letak ketertarikan dalam hujan ini? Aku hanya dapat duduk tinggal bersamanya tanpa bisa berpikir. Selalu saja, aku berusaha menyelam ke dalam hujan dengan memejamkan mataku. Perubahan yang bermakna tersebut akan terpecah – pecah ke dalam kebermaknaan. Yang di dalamnya ketersamaran akan bercabang ke dalam indera.
Ya... hanya dapat tinggal di dalam bersama mereka, tanpa dapat berpikir!


katharsis-holydiary[06012004(2)]

07 Desember 2008

Penikmat Segala Keburukan

Ya... malam ini, kulminasi beban kupancing dan kuumpankan kembali…
Untuk melihat kembali anak–anak tangga yang mengantarku pada roh semesta. Beban dan takdir-lah yang menjadikan hari–hariku seperti ini... seperti sekarang ini. Duduk menikmati kesendirian, menelusuri jalan – jalan yang tidak pernah dikunjungi manusia. Sebuah jalan menanjak yang tidak berujung dimana setiap saat aku masih dapat melihat ke bawah. Dari atas sini kudapati dengan jelas bahwa setiap manusia sesungguhnya membawa belati di punggung dan setiap saat siap menikam sesamanya…

Pernah kuajak beberapa orang untuk mengikuti jalanku, tapi mereka takut ketinggian… ketinggian yang membakar sekaligus membeku. Di atas sini, kita akan berkenalan dengan dewa api dan air. Berhati – hatilah! Andai tidak, hati kita mendadak jadi tumpukan abu atau menjadi patung es yang siap dipecahkan setiap saat. Demikian, semakin tinggi aku mendaki, api semakin berubah warna. Pernah sesekali kulihat lidah api tujuh warna melintas di hadapanku. Seperti fenomena prominensa di permukaan matahari. Dan, pernah pula kutemukan air bah mengamuk yang menghantamku bertubi – tubi.

Tapi, aku bukanlah anak yang baru lahir dengan keahlian yang masih mentah. Aku dapat menumbuhkan insang–insang raksasa untuk menjaga keseimbanganku di laut lepas... Hempasan demi hempasan pernah kutaklukkan. Engkau tahu, aku selalu meminta pada batu–batu besar, supaya mereka menindiku…

Pada awalnya aku hanyalah makhluk hidup biasa, tapi begitu banyak roh keburukan menghantuiku. Hingga lama–kelamaan, aku menjadi kebal. Kekebalan-lah yang membuatku berani berteriak pada laut, agar kedalaman mereka yang paling kelam dan setan–setannya yang berada di palung paling dalam, agar selalu memburuku… Pada akhirnya, aku diarahkan untuk menjadi penikmat dari segala keburukan dari yang paling buruk. Sehingga, dengan demikian, apakah masih ada keburukan di dalam diriku, wahai manusia? Ketika aku kembali ke dunia kalian, semua hal yang kalian sebut baik dan buruk menjadi berguna dan harum bagiku. Serta, aku akan menjadi seseorang yang maha pemaaf bagi orang–orang yang paling dikucilkan dan orang- orang yang paling dihormati. Ya, kalian yang miskin dan yang kaya…

katharsis-holydiary[05012004(1)]

06 Desember 2008

Kebusukan Dari Buah Yang Masak

Aku memang terasing, tidaklah banyak tuntutan dari-ku. Tapi, begitu banyak hal yang mengepung serta mendorongku ke jurang–jurang yang curam. Bahkan, pernah aku tidak sadarkan diri karena menemukan jurang yang tidak berdasar. Di kedalaman yang mengambang, terpaksa sekali aku menempuh jalan hidup yang lebih sulit daripada mengalami kematian. Karena dalam dunia roh, disanalah jalan tersingkat untuk menggapai kembali puncak–puncak gunungku, dan akan kulampaui dia... melampaui ketinggian!Jalan jauh yang kuinginkan, dan ketika aku menemukan taman tempat tinggal Roh Semesta, aku memetik buah-buah yang telah masak di sana dan kulemparkan ke bumi... ke dalam dunia manusia. Buah-buah yang telah masak ini, harus mereka telan dan cerna! Karena andai tidak, ia akan menebarkan bau busuk yang harum kepada setiap pikiran terdalam. Dimana para manusia menyebutnya sebagai hati nurani... Busuk bagi keagungan pikiran tetapi harum bagi Roh Semesta

katharsis-holydiary[03012004(6)]

05 Desember 2008

...

Tangkai teratai menegak di udara beserta buahnya…
Putri malu bisa membedakan angin alami dan angin tiupan manusia. Mungkin hawa manusia tidak biasa baginya. Mengherankan! Ia dapat membedakan segala tiupan angin. Angin manusia mengandung maut bagi putri malu...

Menempa besi perlu ketabahan, demikian pula ketika kita menempa jiwa yang terdalam. Maka, pada akhirnya akan dihasilkan pedang kebijaksanaan yang membelah lautan jiwa...
Waktu yang paling banyak dipergunakan sapi adalah menghabiskan rumput, tidak pernah terjadi kalau sapi berdiri diam di atas padang rumput, kecuali aku dengan Roh Semesta-ku melintas di hadapannya…

Bau kayu yang melembab lama, tanda tertundanya sesuatu; kenangan tua-kah?
Demikian juga sang pemecah batu, haruslah demikian sabar untuk memecahkan setiap batu yang menyusun gunung. Sungguh pekerjaan yang berjiwa besar. Aku mengitari dan mendaki beberapa gunung, yang kutemukan hanyalah gunung- gunung yang digigit oleh tangan manusia. Seperti buah apel yang kita gigit pertama kali, itulah bentuknya, sebuah cekungan besar. Inilah gunung yang kutemui saat ini…


katharsis-holydiary[03012004(6)]

04 Desember 2008

Musik dan Jiwa

Baru saja kulihat seekor tupai menyelinap di antara akar pohon, gesit sekali dia!
Mata air mengalir tak berujung, adalah setara dengan jiwa terdalam. Sedangkan segala yang nyata di alam harus kita tirukan ke dunia manusia. Memainkan alat musik harus memiliki jiwa seperti air…


Irama musik memiliki sedikit kebohongan tentang sifat jiwa, tapi mengenai isi-nya, ia adalah jebakan yang paling berbahaya dan menjiwa. Ia dapat menjadikan pagar–pagar dari jiwa menjadi keras, ataupun lunak seperti tidak memiliki arah. Yang sesungguhnya, isi-nya yang terserap ke dalam dua kutub sifat tersebut lebih esensial dan menentukan. Di dalam isi itu, jiwa begitu lemah dan merindukan pegangan. Godaan ini akan semakin besar ketika kita menelusuri sebuah perjalanan panjang dan ketika kita tersangkut pada pesona sekuntum bunga mawar. Maka kebahagiaan besar akan menyambut hati kita. Sebaliknya bencana jiwa terbesar akan menyusul kemudian...

Demikian, maka sadarilah kehendak alam ini. Kita membutuhkan Roh Semesta yang mengawasi dari atas terhadap ranjau – ranjau alunan musik tadi.
Telah kuserap banyak hal di atas punggung batu yang menghadap mata air ini. Siang menjelang, lelah jiwa ini untuk berpikir...


katharsis-holydiary[03012004(6)]

03 Desember 2008

Roh Kekosongan

Kulihat mentari mulai menerobos di antara keramaian daun di atasku. Ya, seperti hujan permata, pilar–pilar permata-kah itu? Kematian daun-daun kecil dari salah satu pohon, adalah dengan maksud berdamai kembali dengan kelembutan permukaan...
Kelambaman yang berdiri dalam eksistensi, selalu menghasilkan hal–hal besar.

Aku juga menemukan rerumputan yang selalu hidup di sekitar batu. Seandainya ada di antara mereka tumbuh sendiri di hamparan tanah yang luas, akan kutitipkan roh kekosongan-ku kepadanya melalui angin. Atau jika mereka memang sedemikian haus, aku akan melangkah sendiri ke sana... menghampirinya!

katharsis-holydiary[03012004(6)]

02 Desember 2008

Dunia Kecil Dengan Petualang–Petualang Besar

Janganlah engkau melawan arus air, nyamuk awan… Dan kulihat kupu–kupu mungil terbang hinggap pada bunga–bunga di sampingku.
Daun berguguran dari pohon dikira kupu–kupu terbang.
Sebatang pohon, sebenarnya juga seperti sebuah dunia atau satu tubuh manusia. Ada kematian-kematian kecil di dalamnya. Dalam tubuh manusia ia berupa sel–sel.
Sekilas, ada hutan kecil yang tumbuh di punggung batu, tapi yang kutemukan adalah petualang-petualang besar di dalamnya, seperti diriku. Aku punya sahabat di sini, sang petualang–petualang yang bertubuh kecil.


“Janganlah engkau takut, kedatanganku kali ini hanya ingin duduk dan berbincang–bincang dengan kalian tentang kehidupan dunia ini, sahabat–sahabat-ku” aku menyapa mereka.
“Mendekatlah kepada-ku, akan kubagikan hawa besar jiwa terdalamku kepada kalian, supaya kalian dapat melanjutkan perjalanan memahami hidup dengan menemukan wadah yang lebih besar untuk menampung beban yang tanpa batas menuju Roh Semesta. Aku kekurangan beban, sehingga tersiksa. Akan kubagikan kekuranganku ini kepada kalian, agar aku terisi kekurangan yang lainnya lagi... Lalu, aku akan membagikannya lagi kepada petualang – petualang besar seperti kalian di tempat lain. Demikian seterusnya…”


Aku sebenarnya adalah pejalan siang dan malam. Langkah jiwaku telah sampai ke sana. Tapi, kotoran–kotoran dunia masih tertempel pada tubuhku, sehingga aku perlu kembali untuk membersihkannya!

katharsis-holydiary[03012004(6)]

Perjalanan Menuju Gunung III

Batang–batang bambu menjulur menuju suara air, benturan antar gelombang air dan bebatuan. Kenapa babatuan yang acak menghasilkan irama yang berulang? Ya, air yang lembut memiliki sifat yang lebih menjiwa. Pernahkah engkau mendengar bahwa manusia selalu dicerahkan oleh air. Karena air sangat dekat dengan segala yang lembut dan ringan, demikian juga dengan jiwa terdalam kita. Sangat mudah pula diterpa oleh angin–angin jahat...
Tapi, irama yang berulang terjadi karena adanya air dan bebatuan dari bumi. Ada golongan di antara bumi yang berwatak keras dan ada yang berwatak ringan, seperti air dan angin. Yang keras sangat dekat dengan tubuh kita sedangkan yang lembut tadi sangat dekat dengan jiwa kita.
Di antara pepohonan seperti ini, angin telah terpecah. Untuk memiliki sifat lembut seperti air, angin harus dipecah oleh tetumbuhan agar sampai pada sebuah kerendahan… seperti air layaknya…

Dedaunan membusuk dan yang baru lahir: bahwa kelahiran dan kematian sangat dekat.
Jamur–jamur berbentuk piring; kulihat tertempel pada batang pohon yang telah mati, kematian yang berguna… setengah tubuhnya adalah tanah.
Demikian, untuk mencapai kerendahan seperti air, api pun perlu disaring oleh dedaunan, agar ia menjadi lembut adanya…
Segalanya jadi lembut di kerendahan permukaan yang alami.

Dan segalanya yang jauh dari kerendahan alami akan menjadi tenaga yang besar. Oleh sebab itu, manusia yang hidup berpijak pada tanah, janganlah bercita–cita menjadi matahari yang panas... Panas yang terlalu besar di atas sana atau menjadi panasnya magma di pusat bumi. Karena hal demikian tidak sesuai dengan kelembutan dari kehendak permukaan, yang sebenarnya satu kehendak dengan kaki dan tubuh kita. Demikian pula dengan sifat–sifat air, angin, api, tanah, tumbuh – tumbuhan yang berada di permukaan.
Nyamuk berkaki awan… seperti awan yang bersahabat dengan air.
Lihatlah kadal hitam legam yang turun dari puncak menuju kerendahan. Ia juga terheran–heran melihat mata air yang mengalir…

Tadi, baru saja kutangkap, bahwa segala sesuatu di luar manusia juga memiliki ke-egoisan. Dalam dunia manusia semua itu berasal dari akal budi pikiran, sedangkan dalam dunia di luar manusia belum kunamakan. Kadang kurasakan tumbuhan dan hewan melanggar kehendak Roh Semestanya sendiri… demikian Roh Semestaku berbicara kepadaku!
Terutama pada tumbuhan, pernahkah engkau mendapati tumbuhan yang tidak mau menerima takdir kematiannya? Kita harus memiliki pengamatan yang melampaui ekspresi, seperti wajah dan tingkah laku pada manusia. Sesungguhnya, tumbuhan juga pernah gelisah. Sebaliknya, aku sangat menghargai tumbuhan yang berdiri sendiri di padang gurun. Karena ia seperti jiwa terdalamku, selalu sendiri… Dan tumbuhan seperti ini, jangan–jangan sudah memahami Roh Semesta-nya sendiri. Aku tahu itu… jiwa terdalamku membisikkan.


katharsis-holydiary(03012004(6)]

Perjalanan Menuju Gunung II

Kota belantara, tempat dimana segala pembicaraan lebih banyak berlangsung di bawah permukaan bumi, sedang yang menyeruak dari tanah dan yang menjulang ke atas adalah untuk menangkap kehidupan dari langit.

Aku mendapati sesuatu, bahwa segala sesuatu yang terlahir dan hidup di permukaan bumi haruslah mengalami kelahiran, kesakitan, perkawinan dan kematian. Dan, semua itu akan berlangsung dengan sangat singkat. Segala yang menjauh dari permukaan bumi, baik yang semakin terangkat ke atas dan yang semakin menyelam ke bawah akan memiliki kelangsungan hidup semakin lama dan memiliki kekuatan yang semakin besar.

Maka di ujung alam semesta ini, ada juga kelahiran dan kematian yang berlangsung sangat lamban. Untuk itu, roh semesta kita, selain ringan juga harus lamban… dan dengan demikian, ia akan menjadi besar seperti semesta alam.
Harus kulanjutkan gerak kaki ini. Masanya telah tiba, karena jika lebih lama lagi, daun–daun besar di sekelilingku akan melahapku… dan memaksaku tinggal bersama mereka.
Tidak lama, sampailah aku di sebuah mata air. Gunung yang bermata air. Diriku harus seperti mereka, tiada habisnya. Aku melihat semua tetumbuhan berebutan untuk berdiri di dekatnya dan termasuk aku secara tanpa sadar… Kenapa aku harus berhenti di tempat seperti ini?
Roh semesta-kah itu? Aku merasa sangat sehat berada di sini…


Jika semua mahkluk, hidup menyatu dengan hutan belantara. Kukatakan perkawinan akan terjadi tepat pada waktunya, mengikuti tubuh. Dan, kecantikan duniawi sirna di sini. Kecantikan eksistensi-lah yang berkilau, kecantikan untuk memahami langit dan bumi, yang bercita-cita hanya melanjutkan keturunan. Eksistensi untuk saling mencelupkan jiwa antar sesama, akan saling terbantu untuk melihat roh semesta di antara keduanya. Dan mereka juga, akan melihat kedamaian tumbuhan, tanah dan air yang menangis karena kebahagiaannya. Di sinilah kemungkinan terjadinya hubungan badan yang tanpa saling curiga… setelah melakukannya!

katharsis-holydiary(03012004(6)]

Perjalanan Menuju Gunung

Seperti mengayuh sepeda melewati beberapa gunung, demikian juga dengan takdirku; bahwa aku harus begitu banyak memanjat anak tangga untuk melihat terang di hadapanku. Semangatku adalah tanpa tujuan dan tanpa akar.
Maka, mulailah pendakianku pada hari ini. Dengan berjalan kaki, aku menelusuri jalan memutar pada gunung yang menanjak ini. Kita manusia, yang seharusnya hidup di permukaan tanah, haruskah berusaha keras untuk melawan ketingggian dari tanah?! Untuk memahami kebijaksanaan tanah di ketinggian, aku harus pergunakan kedua kakiku untuk memahaminya. Kaki yang dirasuki roh semesta adalah kaki yang tahu kapan harus berhenti dan kapan harus mendaki.

Perhentian di sebuah batu, kelelahan menyelimuti jiwaku, roh semesta tertutup, aku tahu itu. Beberapa saat, ia pun muncul dan menguap ke bawah untuk menjamah dan berkenalan dengan roh dingin dari batu…

“Berhati–hatilah! Ada dua mahkluk yang sedang berpelukan di atas punggungku” batu ini berbisik padaku. “Jangan engkau mengusik mereka, aku sendiri merasakan kebahagiaan tertinggi mereka”, lanjutnya…
“Aku tahu itu batu yang bijak, aku juga memahami seperti halnya engkau memahami… Memahami akan kedinamisan alam menghasilkan anak alam. Sang lintah menghasilkan anak lintah…” aku menambahkan.


[katharsis-holydiary(03012004(6)]

Saat – saat Kemunculan Roh Semesta

Adalah pertanyaan besar, bahwa mutasi pikiran dan tubuh bagi makhluk yang lahir adalah barasal dari mental manusia yang berkisar dari yang nyata sampai dengan intuitif.

Kudapati semalam, bahwa setiap wajah manusia yang aku tatapi membuat aku seperti berada di antara hewan–hewan, kodok dan ikan yang kubayangkan. Kehidupan begitu sederhana dan keragaman perkawinan pada manusia, yang dengan mudah kusamakan seperti hewan… Apakah eksistensi adalah jalan menuju insting hewan?

Perjalanan jauh telah membawaku sampai pada perhentian ini, bahwa kita memerlukan padang rumput yang hijau dengan keadaan iklim yang lembab dan air mengalir untuk melakukan perkawinan yang menghasilkan keturunan yang dikehendaki alam…
Musim kawinku sudah lama berlangsung, ibarat hewan, aku memahami benar bahwa hal yang paling indah dan perkawinan yang paling menyatu dengan semesta selama ini adalah ada pada makhluk yang lahir tepat pada musimnya. Inilah kisah cinta yang paling romantis, wahai para pujangga penyanjung cinta. Sesungguhnya, cinta dua makhluk di bumi yang paling bahagia ada di luar manusia… di kedalaman hutan dan lautan yang belum terjamah oleh tangan–tangan pikiran manusia.

Ya… saat ini aku sangat mudah berubah. Kadang aku dapat melunakkan perutku untuk menjadi cacing yang hidup di dalam tanah. Kadang kulitku bisa mengeras untuk menjadi hewan di atas tanah. Kadang tumbuh pula sayap–sayap pada punggungku untuk terbang bersama burung di udara… Tanah dan lautan, bumi dan langit, kalian semua memiliki waktu untuk menentukan kapan sesuatu akan berbuah, aku memahami itu! Inikah kiranya eksistensi terdalam yang engkau ajarkan? Wahai Roh Semestaku…

Bahwa pada akhirnya, semuanya memiliki harga diri yang sama, kapan harus lahir dan kapan harus mati? Ya ada memang, sering kulihat beberapa mahkluk yang terlahir dengan takdir untuk dibunuh. Maka kukatakan: kemungkinan jalan terbesar untuk melihat bayangan roh semesta ada pada perkawinan dua anak manusia. Di saat itu, peluang paling besar manusia akan menjadi hewan pula… Dan satu lagi, pada saat-saat menjelang kematian. Roh semesta kadang menampilkan dirinya dengan utuh. Janganlah terkejut, perlu kepasrahan yang luar biasa bagimu makhluk manusia, yang selalu mengekori jalan daripada buah–buah pikiran… untuk menerimanya.


[katharsis-holydiary(03012004(6)]

27 November 2008

Ilusi...

Batu nisan penghias kubur, bagiku ia yang berasal dari tanah ini, bersahabat dengan tubuhku. Hanya wujud dan bentuknya yang sedikit liar, yang kadang mampu mencakar jiwa manusia akan sebuah bau kefanaan yang intuitif. Karena itu, kebanyakan manusia kemudian menambalnya dengan lempeng-lempeng pikiran tradisi, sehingga terbentuklah roh–roh jahat yang berbau kematian. Yang perlu dinetralisir dengan batu lain, kuil misalnya. Maka akhirnya, lengkap sudah ilusi palsu yang diciptakan manusia, yang mereka sebut sebagai dunia dan akhirat. Demikian juga dengan akhirat dari surga dan neraka!

katharsis-holydiary[01012004(4)]

26 November 2008

Karunia Yang Mengutuk

Sore dengan mendung yang merata... maka jadilah ia ringan. Ringan sangat dekat dengan perubahan dan kemenjadian. Demikian jiwa ini harus kubuat ringan... Berat – ringan – berubah – ringan – berat…

Kembali kepada lautan kuburan dengan mendung yang merata. Pondok yang menjadi tempat berteduhku. Ada sedikit keanehan! Andai jiwa ini memang bersahabat baik dengan segala yang fana, maka adalah benar bahwa tidak ada hal yang perlu diucapkan ketika ia kembali ke kediamannya… Demikian sebaliknya, berada di dalam keramaian dan hiruk–pikuk, akan membuat jiwa terdalam ini berteriak keras dan mengutuk dengan berkah atas yang hadir di hadapannya… Karunia yang mengutuk, lebih tepatnya!

Apakah ini sebuah kemajuan untuk sebuah perubahan. Perubahan yang harus memiliki kegesitan untuk meloncat–loncat di antara dua dunia… kedinamisan meloncat. Sedang ramalan untuk cepat lambatnya, harus memiliki keahlian yang lebih mendalam… keahlian yang melampaui segala dimensi waktu! Tidak sesuatu pun yang berani menentukan, baik yang menyeruak dari bumi ataupun segala hal yang turun melayang dari langit…


katharsis-holydiary[01012004(4)]

25 November 2008

Mati Untuk Meneruskan Hidup

Hujan sepanjang hari yang stabil, mengingatkanku pada kejadian kemarin. Sang penjagal kambing itu, beserta seluruh penonton yang ada. Mereka mengatakan itu adalah pertunjukan yang menarik. Kalian tahu: mereka memamerkan onggokan paru yang dirampas dari perut seekor kambing dan meniupnya seperti balon udara. Warna merah muda kulihat benda itu dan di permukaannya tersebar benang-benang darah beserta otot-ototnya. Bau amis darah binatang, darah berceceran, disusul kepala kambing yang terlepas dari pangkal lehernya. Kejam memang! Tapi, sama kasusnya seperti mayat dari sang anjing air kemarin, bahwa kematiannya telah melahirkan dan meneruskan kehidupan di dalam semesta ini. Dalam bentuk penyebaran yang merata dan berantai… Merata dalam berbagai wujud dan berantai sebagai sebab untuk akibat lainnya…

katharsis-holydiary[01012004(4)]

24 November 2008

Selera Dunia Atas...

Puasa pesta besar… dunia manusia… betapa ramainya malam ini. Seluruh jalan seperti di tumpahi mahkluk yang disebut manusia. Aku tidak punya selera untuk terjun seperti mereka. Kenikmatan apa yang mereka dapat dengan berjejer–jejer di jalan seperti itu? Mengherankan! Kurasakan mereka memiliki selera yang begitu berbeda denganku untuk mencicipi hidup ini... Bahkan untuk berdandan seperti mereka pun aku tidak sanggup. Karena aku telah menanggalkan begitu banyak kostum nilai dari tubuhku...

katharsis-holydiary[31122003]

23 November 2008

Cinta Eksistensi?!

Pertemuan dua gunung pada satu kerendahan, menghasilkan jalan surgawi pada angin, dan sang penyambutnya adalah seorang gadis kecil yang sedang memetik sayuran di tengah ladang.
Lengkungan gunung, pengundang keluguan suci. Ketika ia memanggil sang nenek di pinggir jalan.

Apakah tubuh yang terbuat dari tanah yang aku cari dari kawasan Roh Semesta? Karena aku merasa damai di tengah hamparan ladang seperti ini. Teluk menegak di antara gunung, yang menghidupkan goyangan besar pada pohon dan di sini juga banyak terjadi perubahan besar yang cepat. Wajah-wajah baru dari sayuran dan rupa dari daun yang banyak kutemukan di sini. Mereka telah berhasil melalui kehidupan ini dengan singkat dalam wujud nyata. Selanjutnya, ketidaknyataan bersemedi di dalam kesamaan yang sinambung...

Terong putih yang menuju bumi. Ia adalah salah satu di antara banyak buah yang ditakdirkan jatuh ke bumi. Dan Roh Semestaku ada di antara bumi. Kalau demikian, semua tamu menyambut kedatanganku di hari yang menjelang siang ini.
Gadis kecil dihiasi daun di antara ladang. Lihatlah, daun yang tumbuh di kepalanya, lalu batang pohon adalah lengan kecilnya, sedang kakinya yang berdiri tegak di atas tanah adalah terusan dari tanah. Serta... gerakan itu dan suaranya memiliki makna yang sejajar dengan angin…
“Hei Roh Semesta, sejak kapan engkau memperhatikan mahkluk bernafas seperti itu, apakah hari sudah menjelang kiamat?!” teriak sang pikiran dunia…

Di sini adalah pintu gerbang kediaman Roh Semesta, dan gadis kecil itu adalah teman hidupnya yang sejenis di dunia tanah ini. Kecantikan duniawi menjadi miskin di sini, ia kehilangan daya pikatnya… Lihatlah, kecantikan baru telah terbit dan sedang menari–nari dengan semua yang hidup di dunia roh… Aneh! Hari ini telah dua kali aku digoda oleh sang alam untuk hidup menetap dengan-nya. Dan kulihat dengan jelas, Ia telah membukakan pintu rumahnya untukku… Kecupan–kecupan kecillah yang selama ini kudapatkan dari-nya. Bibir merah dari tanah dan dedaunan telah menunggu, andai aku menginginkan kecupan yang besar... kecupan dari keabadian Roh Semesta!

Hening.., Roh Semesta sedang berusaha memakan habis pikiran duniaku untuk menggapai tangan dari si gadis kecil itu. Pesona cinta eksistensi terhembus di ladang ini… akan kupertimbangkan itu! Sepertinya aku harus meneruskan perjalanan, karena kemenangan Roh Semesta akan membuatku terasing di antara dunia manusia nantinya.

katharsis-holydiary[31122003_(2)]

22 November 2008

Eksistensi Alam Yang Menggoda...

Arahku menuju gunung, lalu tertahan oleh sebuah jembatan. Kutemukan empat bola batu yang mengelilingiku. Adalah satu pertanyaan, aku dapat tertambat di sini.
Reaksi dari dunia manusia yang disusul dengan Roh Semesta mengatakan “Duduk di kelilingi empat bola batu, bukan berarti rerumputan di sekitarmu engkau rendahkan. Demikian juga dengan pohon kelapa yang ada disampingmu. Adalah sulit, andai engkau memaksa keanekaragaman pohon dan semak untuk berbicara kepada-mu…” Mungkin bagi sang alam, aku adalah tamu asing yang sedang menawarkan oleh–oleh pikiranku padanya. Semerbak harum pikiranku kupersembahkan kepada mereka, tapi mereka tidak bergeming sedikit pun.

Mereka lalu–lalang lewat di hadapanku seperti tanpa menyadari kehadiranku. Lihat sang kumbang besar itu, jangan–jangan ia ingin mengabarkan kepada semua temannya agar menjauhi aku.
“Aku memang teman terasing untuk kalian, tapi aku tahu persis bagaimana mendirikan jembatan untuk hidup menyatu di kota belantara kalian…” aku berseru pada mereka.

Dan terakhir, kudengar mereka berkata dalam hati, bahwa aku harus menjalani kehidupan sehari-hariku di sini, menjalani kodrat diriku di sini, baru aku terdaftar sebagai penduduk belantara ini.

Aku memahami kedalaman dari kebijaksanaan-mu, gunung yang berambut hijau dan kubah langit! Kalian sedang mempengaruhiku dari berbagai penjuru, kurasakan itu dan Roh Semesta-ku sedang berteriak–teriak ingin bergabung dengan kalian. Aku memang hidup di persimpangan jalan, karena aku mengemban tugas untuk mengabarkan keagungan yang kalian tawarkan kepadaku untuk kemudian kuajarkan pada para manusia di dunia sana. Kehidupan sehari–hariku telah menapak sampai pada langkah ini dan selangkah ke depan lagi, aku akan hidup di tengah-tengah kalian. Tapi satu hal; aku tidak tahu kapan akan kembali ke dunia… Mungkin harus kuserahkan takdir ini, jalan di depan dapat menjadi bukan tugasku untuk mengajari umat manusia yang kehilangan arah...

katharsis-holydiary[31122003_(2)]

21 November 2008

Lintasan...

Pagi yang cerah, akan kutempuh jalan ke selatan menyusuri tenggara. Sapi yang kutemukan, bahwa ia telah pernah menjadi objek perantara bagi seorang anak manusia menjadi suci. Nasibnya menyerupai sang ular maupun laut bagi kawanan manusia tertentu. Dan sampai sekarang, ada sebagian sapi diwariskan hujan permata oleh kawanan tersebut.

Ada sebuah kedamaian yang kutemukan, sekelompok angsa menggelar pesta di pinggir jalan. Mereka... para keluarga ini sedang menyambut datangnya pagi. Mereka punya peranggai yang sama dengan-ku, yang memiliki rumah di alam terbuka.

Tiba – tiba saja, sesuatu yang tidak kelihatan melintas... Aku seperti berubah menjadi mereka, langkah kakiku terhenti. Engkau tahu, bahwa utusan Roh Semesta yang telah memperlakukan aku demikian, menerobos ke dalam hati seekor angsa dan mencari di mana letak kesenangannya…

katharsis-holydiary[31122003_(2)]

20 November 2008

Anak Pusaka Waktu

Sebuah rintangan besar bagiku, ketika kembali ke tempat lama... Sang penjebak juga ikut menuju ke sana. Masa lalu, kenapa aku sedikit sulit menangkapmu pada diriku yang sekarang? I ya inilah keunikan-nya ketika berada di dalam eksistensi terdalam. Keyakinan dan kekaguman-ku pada agama telah lama terdesak oleh kekaguman-ku atas masa lalu. Pusaka waktu, khusus datang ke jiwa ini untuk menjadi lawan tanding dengan Roh Semestaku saat ini. Tapi, aku tidak terlalu menyalahkan pusaka waktu. Ia sebenarnya lebih merupakan jembatan yang harus kulalui. Kedalaman-lah yang diperlukan agar jembatan ini bermanfaat membawa jiwa kita menemui Roh Semesta.

Pada awalnya dalam pusaka waktu, telah terjadi banjir teratai. Pesonanya begitu memukau. Yang mengherankan, ia selalu bersembunyi di dalam sebuah puncak kekaguman. Pernah sesekali, kutemukan ia sedang jongkok di pojok jiwa terdalam. Seperti anak kecil, ia memainkan tiupan balon berbusa. Ia meniupkan segala kebeningan warna dari butir–butir pembentuk jiwa. Pesonanya, karena kita tidak mampu melihatnya dengan jelas dengan indera. Andai sudah sedemikian ahli kita mengembalakan jiwa, kapan harus digiring ke kandang seperti gembala domba layaknya, maka seringlah pula kita temukan serbuk–serbuk pengagum yang bertebaran di dalam kota tempat tinggal para jiwa ini…

Layaknya kabut beracun yang tidak berbau… begitulah kiranya cara kerja anak–anak malaikat ini di dalam diri kita. Menebarkan racun di dalam kandang sendiri. Sungguh berbahaya tingkah laku mereka, sang penunda waktu ini… Sampai sekarang, aku selalu membiarkan anak–anak ini bermain di dalam diriku. Aku ingin mengenalnya lebih baik, seberapa luas lingkup bermain mereka. Kudapati mereka tidak hanya bermain di satu kotak pasir. Mereka selalu meloncat–loncat, memanjat, berguling bahkan pernah merasa iri dengan pancaran mata memerah dariku. Karena aku mematahkan sayap-sayapnya agar mereka tidak bebas terbang, agar kenakalannya berkurang. Tapi, sering pula aku mengajak mereka berjalan–jalan ketika sore menjelang, riang kelihatan anak–anak ini! Jika saatnya tiba, aku mengurung dan menina-bobokan mereka ke dalam tempat tidur terempuk hasil ciptaan Roh Semesta-ku. Anak–anak dengan daya pesona penunda waktu ini... Kunamakan keseluruhan dari mereka pada akhirnya dengan anak pusaka waktu.


katharsis-holydiary[29122003_(1) 12:00]

19 November 2008

Perubahan Dalam Kesamaan

Langkah selanjutnya, langkahku terhenti pada sebuah taman. Badan ini terasa lelah, sebuah kelelahan eksistensi-kah? Rasa kantuk sudah berdiri di ambang pintu. Bagaimana aku harus bersikap?
Satu lagi kutemukan titik kulminasi di tengah kota... terminal. Sebuah tempat untuk mengangkut energi yang berkeinginan sama ke suatu tempat. Setiap unit mesin pengangkut memuat kekuatan yang sebenarnya biasa–biasa saja, tapi tempat menjadi tujuan… Aku harus mengatakan, indera mata-lah yang berbicara banyak. Kembali kepada kekuatan tadi, ada beberapa jiwa dalam satu mesin pengangkut memiliki kekuatan yang sangat besar. Hal ini sebenarnya identik dengan kemampuan mengandalkan mata yang semakin besar, sekaligus memperobjek segala sesuatunya juga membesar.

Oh apa ini?! Awan gelap menghampiri, butiran air pun menghujam bumi. Kulihat kembali ke gerbang kesadaranku, tapi sang pembawa tidur telah pergi! Ada apa ini?
Dalam diri setiap manusia, sebuah ketegangan harus dialihkan ketika sampai pada titik jenuh, tapi kadang peralihan itu tidak terjadi di dalam diri manusia, tapi perubahan di luar-lah yang sebenarnya juga dapat mengundang peralihan di dalam diri manusia itu. Maka, kadang kita akan melihat ketegangan yang berkesinambungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut perubahan dalam kesamaan. Inilah yang kudapati kembali dalam hujan kali ini.

Hujan di akhir tahun, sangatlah menentukan bagi manusia. Momen–momen seperti ini telah lama kusadari. Aku melihat seorang pria setengah baya memandang terpesona terhadap hujan yang turun. Mau tahu apa yang kubaca dari dia? Porsi kekosongan lebih banyak dibanding dengan porsi gerak berpikir yang disadari. Kadang selama memandang, pikirannya bergerak tapi gerak untuk kali ini tidak seperti biasanya. Potongan–potongan objek dan gerakan dari rangkaian pikiran bermunculan seperti tanpa pola yang disadari. Sesungguhnya sang Roh Semesta sedang menggoda pikirannya… bukan sebuah kekacauan. Ya, sebuah revolusi mendadak selalu menimbulkan kekacauan, bukankah demikian?

Tapi pada intinya campur tangan Roh Semesta selalu merubah perlakuan tanpa bisa dihentikan, jika kesadaran kita terlalu rendah. Andai kekecewaan dan kecemasan yang dirasakan pria tadi, maka arah menuju Roh Semesta adalah sesuatu yang asing bagi dia, sehingga ada kemungkinan ia akan meledak tiba–tiba seperti cahaya halilintar. Kapan? Ini adalah campur tangan masa lalu dan keterikatan sang pria dengan eksistensi terdalam. Benturan antar dimensi waktu?
Hal selanjutnya adalah aku ingin memahami dimensi waktu yang esensial itu?


katharsis-holydiary[29122003(1)-12:00]

18 November 2008

Kemuliaan Sang Ular dan Sang Rajawali

Sudah beberapa kali ular berkaki empat itu berlalu di hadapanku, ia sedang mencari makanan sepertinya. Ia, mahkluk yang merayap di atas bumi ini sebenarnya juga memiliki ketinggian seperti elang. Ketinggian yang menghujam ke bumi, kusebut itu! Tapi sejak awal, gambaran diri bagi seluruh makhluk merayap, termasuk ular, telah dirusak oleh manusia. Celakalah bagi sang ular. Mereka telah dimusuhi oleh sebagian besar umat manusia, terutama dalam kawanan orang yang menyebut dirinya memiliki Tuhan Kristen. Bagi kaum kristiani: “Engkau harus melampaui agamamu sendiri, agar engkau melihat kesetaraan dari kemuliaan antara sang ular dan sang rajawali, termasuk setan dan malaikat dalam diri-mu…”

katharsis-holydiary[29122003(1)]

17 November 2008

Ketinggian dan Kedalaman Yang Tidak Terjangkau Pikiran

Pelabuhan ini berbau hawa manusia… ia sempat mengusikku, tapi Roh Semestaku berkelit.
Di pinggir selat kutemui sebuah kuil berwarna merah dan aku yakin bahwa pembawa keberuntungan-lah yang ingin dibangun di sana. Lihatlah gerbangnya yang dihadapkan pada gerbang pelabuhan. Ada ilusi di sana. Dan pertanda pula ada keagungan laut. Manusia biasa, dengan pikirannya, selalu hanya merasakan adanya kekuatan yang tidak terlihat pada lautan dan mereka menciptakan obat penenang dengan membangaun kuil itu. Kuil adalah obat penenang untuk pikiran, sedangkan pikiran sebenarnya telah memenangkan perang terhadap kuasa Roh Semesta ketika kuil terbangun. Dengan demikian, Roh Semesta terbungkus. Pada saat keberuntungan ikan berlimpah di depan mata, perayaan dan pesta obat penenang akan menjadi ramai. Di saat seperti itu pula, laut di buat tutup mulut, laut yang bersahabat baik dengan Roh Semesta itu…
Ketika pertama kali manusia melihat laut dan deretan pohon bakau yang sedemikian luas dan kelam, mereka merasa takut. Lalu ketakutan ini dibungkam dengan doa dan kuil… Sebuah penyakit jiwa yang abadi… dan agama merupakan teman – temannya.

Deru ombak menggulung di pantai…
Putih… ada burung merpati yang menyatu dengan awan. Tidak lama sang elang pun muncul. Adalah sebuah pemandangan yang satu; sejak adanya bumi; bahwa elang selalu bergerak memutar di ketinggian awan. Dengarlah, ia telah hinggap di satu pohon, dan sekarang ia memanggil teman-temannya. Aku yakin sebentar lagi temannya akan muncul…

Samar – samar kurasakan angin telah berubah haluan. Di samping kananku ada seorang tamu yang mengenakan seragam. Di antara sekian banyak tamu yang hadir, termasuk para nelayan, sang penyandang seragam inilah yang paling asing bagi laut dalam, biarpun orang–orang menyebutnya kawanan penjaga keamanan laut. Pasukan dan negara adalah formasi mantera yang dibuat mereka… dan sesungguhnya mereka ingin menjadi kedalaman laut. Tapi yang kudapati.., ini adalah cerita tentang dua laut yang sangat berbeda selera: laut yang bergerak atas satu kesamaan dan laut yang bergerak atas satu komando yang memuakkan.
Air di teluk ini berbaur dengan lumpur. Lihatlah warna airnya, ketika memasuki laut lepas… mereka menghilang...

Kembali pada cerita tentang elang; ia juga seperti laut, begitu banyak gambaran dirinya ditiru oleh manusia. Tapi ya, elang yang bergerak di satu ketinggian dan elang yang bergerak dengan satu kemunafikan… Garuda; masyarakat di sini menyebutnya! Elang berubah menjadi garuda, karena manusia tidak mampu memaknai ketinggian dan kedalaman-nya yang menyatu dengan langit itu…


katharsis-holydiary[29122003(1)]

16 November 2008

Kehendak Alami

Dermaga… pengkait kapal! Suara burung dan mahkluk merayap. Ada anak gelombang, demikian kunamakan pada permukaan air yang beriak di sebuah selat! Ketahuilah, dari selat ini sebenarnya kita dapat mengenal laut!

Dengan anak gelombang dan gelombang di laut lepas! Anak gelombang lahir dari ketenangan air yang disambar angin.

Dan di dalam tenangnya air ini juga ada penghalang besar seperti bukit di tepi selat.
Jika di laut lepas… aku menyebutnya pulau. Dari mana datangnya semua gejala, kita tahu, di seberang lautan ini ada daratan, tanpa perlu melihatnya. Itulah kehendak alami, yang mampu membaca alam melampaui indera.
Coba lihat! Ada mahkluk berkaki empat merayap di tepi dermaga, ia adalah sang penggali lubang yang hebat.

[katharsis-holydiary[29122003(1)]

15 November 2008

Keindahan Yang Mengalir Dalam Kematian...

Beberapa langkah di hadapanku, kudapati mayat seekor anjing terbujur kaku. Mati terendam air pasang laut. Pagi hari yang indah disambut hawa kematian. Bagiku ini bukanlah hal buruk, karena anak dari pagi hari yang baru telah lahir di dalam mayat tersebut.
Kulihat begitu banyak pagi di sini. Apa engkau tahu, induk dari pagi adalah sinar dari ufuk timur, tapi kemudian ia beranak cucu di segala tempat, dingin yang menghangat; kusebut semua itu! Aku juga melihat teman dari mayat sang anjing air tadi. Hidupnya sudah menghampiri siang dan ia melewati begitu saja mayat temannya itu. Harus kuakui: sang anjing ini lebih bijaksana dari manusia mana pun. Bagi-nya, ia telah melihat keindahan baru di dalam mayat temannya…
Kudengar ia berkata dalam hati kemudian, “Temanku melahirkan pagi, aku pun harus demikian. Akan kucari santapan baru untuk menciptakan pagi dalam diriku, supaya aku tidak ketinggalan… ketinggalan dari sang induk pagi”.
Di depan, hamparan tanah mengeras karena menyatu dengan air. Kepiting mungil itu, juga merupakan teman dari pohon bakau.
Baru saja kulihat sekelompok burung pipit kejar–kejaran, lalu hinggap di satu pohon yang telah menguning.
“Matahari terlalu jauh, ada baiknya kita bermain dengan temannya, yaitu dedaunan tua yang terang ini“. Inilah bisikan hati dari kebanyakan burung pipit itu, karena semua pohon hijau tidak seterang pohon yang satu ini.
Lihat! Mesin pengangkut pasir telah tiba dan semua debu bertebaran di sana. Bagiku mesin dan badai pasir itu adalah mahkluk turunan dari sang kehendak kehidupan. Biarpun benda yang disebut mesin ini selalu dibenci oleh kebanyakan pujangga yang menyebut dirinya humanis.

katharsis-holydiary [29122003(1)]

14 November 2008

Menuju Dermaga...

Pagi–pagi sekali sudah kubulatkan langkah ini. Banyak hal yang harus kutanggalkan dari pundakku jika aku ingin datang kepada laut dalam… supaya kedalamannya merengutku.
Gerbang di depan mata… kenangan masa lalu menjadi lebih indah daripada sekarang karena waktunya… Ya, aku harus berjalan lagi…


katharsis-holydiary [29122003(1)]

13 November 2008

Racun Penghambat Jalan

Kemudi kapal, bubu dan piringan penipu ikan adalah alat–alat buatan manusia untuk ikut campur tangan dalam laut kehidupan.
Daerah ini telah mengundang pesonaku, aku tahu ini adalah sebuah bagian yang dapat bercerita tentang seluruh kehidupan ini. Aku akan terjun ke dalam bagian ini. Aku perlu beberapa lama berdiam di tempat ini… telah kutetapkan rencana!
Sore menjelang malam, matahari kembali ke rumah. Pohon–pohon pun berdiri diam, ada apa ini? Sepertinya semua wajah mereka menghadap ke barat.
Bagiku ada sedikit hawa tidak sedap bagi jiwa terdalam-ku, tempat yang kududuki ini mengandung sesuatu… tidak! Ada sebuah kekuatiran… kekuatiran akan masa mendatang… nanti malam. Aku sudah tahu sepeda yang kunaiki ini mengandung racun penghambat jalan bagi roh semestaku. Aku harus pulang sekarang, untuk menjinakkannya. Kesempatan besok aku akan datang ke lautan ini dengan mengajak Roh Semesta-ku sekalian. Ia akan kutempatkan di depan untuk menghalau semua penghalang manusia.


katharsis-holydiary [28122003(7)]

12 November 2008

Selanjutnya...

Barat laut adalah perjalanan selanjutnya…
Perjalanan ke pelabuhan. Perhentian kali ini berujung pada sebuah bangunan dari kayu. Lihatlah, begitu banyak pohon bakau bertebaran di lahan berlumpur di depanku. Apa yang kudapati: pohon bakau dan lumpur terhalus yang berwarna coklat keabuan, adalah teman yang berjalan bersama kehidupan.
Tadi kudengar ayam berkokok, pertanda apa itu? Apakah sore dikira pagi? Adalah satu pertanyaan yang setaraf dengan hidup ini… bahwa ayam berkokok hanyalah di pagi dan sore hari…
Ini, hamparan laut di depan mata… Dia juga memiliki teman–teman, seperti sang gelombang dan air asin yang selalu bertindak mengikuti bumi dan semesta alam, yang terakhir termasuk roh semesta yang ada dalam diriku. Akan kuundang dia turun ke tubuhku untuk berbicara dengan mereka semua nanti. Agar aku mengenal betul kapan gelombang berbisik dengan bahasa pasang surutnya. Apakah kalian tahu, hari ini mereka datang dan merendam semua pohon bakau tadi pagi.


katharsis-holydiary [28122003(7)]

11 November 2008

Penyakit Yang Menyembuhkan

Ada sedikit hal tentang eksistensi terdalam, ia tidak pernah mengingat sesuatu. Ingatannya tidak seperti manusia intelek pada umumnya. Ingatannya.., aku masih dalam transisi ke naluri. Sedikit jalan tersesat, tapi akhirnya kutemukan jalan tembus dan mengantarku kepada sebuah pondok yang tenang. Sebuah pondok penjual minuman yang sepertinya terbuat dari rangka–rangka pohon yang ada di taman sampingnya. Seorang ibu menyambutku ramah. Tapi di dalam keramahan itu, aku mendapati sebuah arus pembebasan, sebuah penyakit yang menyembuhkan. Di dalam dirinya keramahan dan penyakit berpadu jadi satu, yang memperpanjang umur dari tubuh pada bumi.
Sejak awal aku sudah merasakan, senyuman yang menyerupai matahari itu pernah mengalami masa krisis. Ternyata beberapa saat aku bertamu di sana, ia menceritakan bahwa ia pernah hidup di dalam kematian selama satu hari. Waktu yang cukup singkat untuk merubah total seseorang setelah menemui surga kematian.
Pembicaraan menelusuri penyakit kecemasan yang bercabang menjadi berbagai macam corak dari borok yang menempel pada tubuh dan pikiran. Tapi, harus kukatakan, bahwa akar dari segala penyakit berasal dari kekosongan dalam pikiran dan tubuh. Ia tumbuh dari sumur yang paling dalam, di kedalaman yang tanpa dimensi. Bahkan untuk kota dalam pikiran pun ia dirasakan kasat mata… mata dari perasaan dan insting!
Penyakit sang ibu ini: sebuah penyumbatan yang terjadi pada materi yang paling ringan bukan pada jenis zat… kenapa? Karena yang paling ringan itulah yang selalu bersahabat baik dengan keringanan yang dimampatkan dalam setiap gelombang kecemasan.
Kecemasan sendiri adalah kedalaman yang melanggar waktu dari sang matahari. Tekanan dan hentakan yang memiliki dimensi paling lembut dan ringan datang mendadak demikian juga karakter dari penyakitnya, dimana di dalam dunia manusia disebut stroke/tekanan darah tinggi.
Demikian sedikit pandangan dariku… beberapa kata dariku, tentang segala penyakit. Sesungguhnya rumusan di atas adalah resep untuk segala jenis penyakit di dunia ini sepanjang sejarah berjalan…

katharsis-holydiary (27122003)

10 November 2008

Sang Penyembur

Beberapa hari ini, kulihat kuasa manusia di kota ini memperjuangkan kehidupan menuju yang lebih baik… lebih tepatnya materi yang berlimpah. Kelimpahan itu sekarang bertarung sengit dengan cinta eksistensi dan cinta dunia manusia. Dua musuh besar ini dapat dibuat mundur dengan pipi memerah oleh sang roh materi. Pengaruhnya begitu besar, dan ia menyembur ke seluruh pelosok bumi, bahkan menentukan nasib sang lintah di dalam tanah. Aku tahu persis perilaku sang lintah, tengah malam ia berkeliaran di permukaan tanah mencari bulan, tapi siangnya ia bersembunyi dalam tanah untuk menghindari sungut–sungut sinar matahari, agar ia tidak mampu menggapainya ke dalam tanah. Tapi pagi ini, kucium sesuatu, ada sebuah tangan ajaib, tangan dari segala tangan, yang mampu berubah wujud untuk mengorek jiwa–jiwa dari sang lintah yang berada di kedalaman tanah. Tangan apa itu? Itu adalah tangan dewa dari sang pengumpul segala... sekaligus sang pembuang segala… tangan Roh Semesta!

katharsis-holydiary (27122003)

09 November 2008

Menunggu...

Hari ini, perjalanan menelusuri kawasan di sekitar timur laut, yang kutemukan hanyalah perumahan daerah yang berbau adat. Perhentian yang sebentar, membuat aku harus memikirkan tentang perjalananku ini. Ke mana perginya Roh Semesta yang hadir kemarin?
Kenapa sepanjang perjalanan begitu banyak cadar–cadar penutup langit? Baiklah, akan kutunggu sebentar... Kutunggu badai yang paling hening untuk bicara…
Apakah engkau tahu, manusia-manusia pengumpul dan penunda tenaga alam, listrik yang kubicarakan, kulminasi energi yang dimampatkan ke dalam satu kantong metal. Di mana sebenarnya mempengaruhi angin matahari dan gerakan syaraf orang tua yang kakinya sedang gemetaran. Getaran yang halus, tapi ia sangat menentukan.


katharsis-holydiary [27122003(6)]

08 November 2008

Pertemuan Dengan Seorang Pemuda Dan Orang Tua

Dalam perjalanan pulang, melewati jalan sempit, aku bertemu dengan seorang wanita tua. Lalu kami saling menyapa. Tidak lama sampailah aku pada batas dari daerah perumahan. Seseorang yang sedang duduk di teras rumah menyapaku:
“Dari mana saja engkau, wahai orang asing?”
Lalu aku menjawab “Aku baru berkunjung ke dalam jiwa seorang pejalan, temanku”.
Satu pertanyaan habis dijawab, ia lanjut bertanya dan bertanya terus. Dan, akhirnya aku menganggap ini sebagai sebuah panggilan untuk kehendakku. Sahabat bagi kehendakku yang ingin bicara, bukan diriku yang ingin bicara.
Cerita berlanjut, aku diundang untuk duduk di teras rumahnya, berbicara tentang pekerjaan, umur, situasi masyarakat yang makin terpuruk dan miskin. Pemuda ini sendiri hanyalah seorang penggali tanah dan pemotong rumput yang bekerja di ladang orang. Dia berbicara begitu banyak tentang dirinya.
Apakah ia sedang bertanya walau tidak kelihatan bertanya?
Apapun itu selalu kunetralkan dan kutunjukkan jalan tengah baginya. Sekaligus kujabarkan segala topeng dari kekayaan dan kemiskinan. ”Orang cina” demikianlah yang sering ia ucapkan dan dia banggakan. Bagaimana engkau bisa bangga jadi orang kaya?
Pembicaraan dan diskusi kubukakan, aku telah menunjukkan jalan bagi dia yang selalu berpikir hidupnya dalam lorong gelap.
Sang pemuda berkata: “Selalu saja, ketika aku duduk–duduk sendiri, aku selalu memikirkan nasib dan masa depan anak–anakku… akan jadi apa mereka? Aku sudah hidup dalam keadaan seperti ini berpuluh – puluh tahun”.
Kusambut itu: apapun itu, selama ini pekerjaan adalah nomor satu dibanding dengan kekayaan… dan tidaklah kita perlu memikirkan bagaimana mendapat penghasilan yang banyak, tetapi pikirkanlah pekerjaan itu sendiri. Bagaimana kita harus melakukannya supaya berkualitas dan berkembang terus, dan pada akhirnya di sana akan muncul pawai kebahagiaan yang datang silih berganti… Laksana kita sedang menonton, bagaimana kehidupan ini melewati dirinya sendiri… Ya, sang matahari itu dan pekuburan! Dan satu lagi, di dalam prinsip pekerjaan untuk pekerjaan itu sendiri telah tersembunyi hukum peredaran uang... sebuah kebahagiaan yang unik. Karena segala sesuatu itu ada di dalam semua hal.
“Oh… betul, betul sekali ucapanmu… engkau telah menyingkirkan awan–awan gelap dalam pikiranku. Sekarang terang telah datang kepadaku” ucap pemuda berumur 33 tahun itu.
Tidak lama, datanglah orang tua dengan mata coklat yang berbentuk segitiga terbalik dan langsung bersalaman denganku. Ia seolah bertemu dengan ikan besar di lautan, aku menyambutnya!

Pembicaraan pun dimulai. Sama seperti pemuda tadi, tidak lama berbasa–basi tentang asal–usulku, ia langsung memperlihatkan semua isi dari perut pikirannya, bahkan aku melihat roh kekecewaan terlintas di dalam matanya sebelum kata- kata berbaris keluar dari mulutnya.
Ia seperti mengulang nasihat yang telah kubeberkan kepada pemuda tadi, tapi itu sangat terbatas. Aku menemukan sebuah penghambat di dalam dirinya, sebuah kekecewaan terhadap kekerdilan tubuh… Yang satu ini; aku melihat ia menggali begitu banyak lubang di tanah untuk menemukan tulang, tapi tulang terakhir yang ia temukan ternyata hanyalah pipa bekas yang terkubur di jalanan. Tapi tetap dia menyebutnya tulang. Apa itu? Apakah masa yang mendesakmu? Jangan menyalahkan masa eksistensi, engkau bahkan tidak mengenalnya, wahai orang tua...; dalam hatiku berkata.
Kenapa aku menilainya demikian? Keterpaksaan yang dibekukan, sehingga menjadi kebenaran..; kukatakan kenyataan ini pada orang tua tersebut.
Merasa adanya air surgawi yang mengalir membanjiri pipa ilusi, setiap butir kata yang dinyanyikan berbau pujian. Lalu sang orang tua bertanya kepadaku ”wahai teman lamaku yang turun ke bumi, tebaklah umur yang sedang berjalan di dalam tubuhku ini, aku percaya pada pikiran lamamu?”
“Jangan meragukan kemampuanku seperti itu… enam… enam puluh tiga tahun engkau telah berada di dunia ini”.
Tiba – tiba seolah semuanya berhenti sejenak. Raut wajah orang tua memancarkan rasa terkejut yang luar biasa. Hanya pepohonan dan semak serta sapi yang tidak merasa heran dengan ucapanku… apa itu?
Orang tua itu: “Benar, tidak meleset ucapanmu dan dalam waktu sebulan kemudian umurku bertambah 1 tahun”…
Apa yang kulihat adalah raut wajah orang tua ini terlihat lebih tua daripada umurnya. Yang mempercepat ketuaannya adalah rasa kecewa terhadap kekerdilan tubuh fisiknya. Aku yakin itu.

Tidak lama kemudian, aku merasa angin harum dan bunga teratai mulai mengitari sekitar tubuhku. Kudapati semua itu ditebarkan oleh sang pemuda, orang tua dan beberapa tamu yang duduk di sekitarnya.
Dan kurasakan, sudah saatnya untuk menggerakkan kakiku mengunjungi tanah berikutnya. Sebelum tubuhku seluruhnya menjadi patung emas bagi mereka yang hadir… saatnya pergi… Aku harus berpamitan dengan mereka.
Dalam perjalanan pulang, ada beberapa senyuman yang melayang–layang keheranan dari beberapa tamu kepadaku. Terbaca bagiku: tidak ada sedikitpun kebencian yang terpancar dari mata mereka kepadaku… Sang pembawa damaikah itu? Mungkin mereka bertanya–tanya.


katharsis-holydiary (26122003)

07 November 2008

Kebermaknaan di Pekuburan III

Dalam dunia manusia ada yang disebut arsitektur, mereka mengatakan kita harus menciptakan ruang yang nyaman bagi manusia. Ruang yang nyaman! Aku sudah menemukannya… di antara segala perayaan yang terbentang antara kelahiran dan kematian.
Arsitektur satu tingkat di bawahku, kusebut sebagai area normal ciptaan manusia yang dikondisikan pikiran. Bagiku satu tingkat itu seperti perbedaan antara tanah dan lautan… Sungguh jauh, area normal sedemikian besar dicita–cita mereka lalu mereka memagari area itu, kemudian menjadikan roh buas menguasai tubuh dan pikiran… Ya, ada manusia yang menceburkan badannya ke dalam kobaran api, tapi ia tidak mati… nafsu yang mengherankan!

Ada bunyi gong dan bedug yang dirangkai sedemikian apik. Itulah alunan tingkat roh yang merasuk ke dalam tubuh manusia, sehingga ia mengutuk langit dan bermusuhan dengan kilat. Si gila ingin menjadi Tuhan…
Oh, aku mendapati sesuatu: semua rumput yang bersahabat dengan matahari selalu mengikuti geraknya, bahkan wajahnya pun menyerupainya.

Di dalam dunia ini, banyak sekali hal yang dapat membuat air mata merebak tanpa alasan, tapi aku yang pernah menyelam ke dalam kubur dan mendobrak rumah malaikat dapat melihat untuk apa mata air itu bercucuran…

Saatnya… sudah cukup lelah badan ini. Selanjutnya akan kubiarkan kebermaknaan hanya lewat dalam pikiranku dalam perjalanan pulang… Sebuah kebermaknaan yang hanya boleh diselami dengan satu makna tapi harus melalui jalan–jalan yang memiliki umbul–umbul dan panji–panji yang beraneka warna…


katharsis-holydiary (26122003)

06 November 2008

Wujud Kesempurnaan Manusia Masa Depan

Seseorang belumlah sempurna di dalam semesta raya ini andai hatinya masih tergerak tak tertahankan untuk menolong sesamanya selama ia hidup sebagai manusia. Kesempurnaan terjadi jika seseorang bekerja dalam Roh Semesta, dimana pengaruhnya akan turun ke dunia fisik (materi) ribuan bahkan jutaan tahun mendatang dalam ukuran waktu manusia...

katharsis-holydiary (09092008-08:11)

Kebermaknaan di Pekuburan II

Ketika aku sedang mencari tempat berteduh, kutemui seekor sapi dan bertanya dalam hati. Tapi ia kelihatan sangat senang menyambutku, seolah ia mengatakan: “Jalanlah terus, di sana ada sebuah pohon yang sedang menunggumu, di sanalah engkau harus bertamu pagi ini.”

Terakhir ia mengeleng-gelengkan kepala dan mengibas ekornya mengucapkan selamat jalan.
Matahari sedang merangkak menuju puncak langit… Aku melihatnya tersenyum padaku dan ia pun berkata: “Masih tersisa rasa kuatir di dalam dirimu sehingga engkau tidak dapat menaikkan kerudung yang menutupi wajahku. Tenanglah, aku akan menolongmu dengan tangan sinarku yang panjang .”
Dari diriku sendiri, aku meminta pertolongan pada sang angin untuk menyingkap keheningan di sekitarku. Dan, ia memberikan isyarat kepadaku melalui gelombang rumput yang bergoyang. Samar - samar kurasakan ketakutanku berkumpul. Mereka mengumpulkan semua temannya sejak yang dikenal dari dulu. Raksasa dan ledakan yang ingin diwujudkan dalam diriku sekarang. Tapi persis seperti dugaanku, ketakutan seperti itu tidaklah mampu untuk menaklukkanku.
Siapa yang menyangka, seseorang dapat menyusup sedemikian cepat. Jiwa ini dapat bergerak seperti hantu… Tidak tahu kenapa, tapi yang pasti semua yang hadir akan terheran-heran dan tidak berani menolak. Akan kutandai pondok ini dengan namaku…
Pekuburan adalah tempat yang sangat berbeda dengan sebuah kandang, tempat di mana seorang anak suci dilahirkan. Hanya jiwa terdalamlah yang mampu menembus keduanya dengan panah ajaib.
Coba lihat, ada sebuah pemandangan yang sangat menarik di sana… Aku melihat kawanan orang dengan mulut ternganga menyaksikan seseorang yang sedang mendamaikan setan dan malaikat.
Di dalam kabut yang paling tebal, aku melihat kedamaian yang tiada tara di pekuburan…
Setiap momen jiwa dapat berubah sedemikian cepat di tempat ini.
Di rerumputan yang terhampar di hadapanku… aku dilemparkan begitu banyak intan di atas daun tangannya. Oh… rumput dan matahari yang sedang bercumbu; bagaimana membuat permata dari air?! Aku berharap tumpukan intan yang berserakan di tanah itu akan dipersembahkan kepadaku di kemudian hari.
Tadi, di tengah jalan, sifat liar-ku yang suci untuk memeluk sesama manusia mendadak muncul, tapi aku hanya tersenyum penuh damai kepadanya… Apa yang disebut “kedamaian eksistensi” muncul berkelabat seperti setan. Apa yang ingin kukatakan adalah bahwa malaikat-malaikat juga memiliki keadilan seperti setan ataupun iblis.


katharsis-holydiary (26122003)

05 November 2008

Kebermaknaan di Pekuburan

Pagi ini, perjalanan tanpa tujuan menelusuri semua rumah kumuh dan jalan setapak kulakukan. Apa yang harus dituju, aku tidak tahu? Tapi, di mana tempat aku berhenti sekarang adalah sebuah kawasan pekuburan. Melewati jalan kecil yang panjang dan berkelok–kelok. Rasa kuatir menghilang begitu saja, tapi ada sebuah ketakutan besar kadang muncul ketika seorang tamu datang menghampiri.
Lalu kesadaran-ku berbisik: ”Apa yang engkau kuatirkan? Itu hanyalah reaksi dari dunia manusia. Santailah... semuanya akan kembali ke jalan-ku…”

Sangat kukenal suara burung di sini… pekuburan yang sepi… kefanaan yang luar biasa. Dalam diri ini, tidak ada sesuatu pun yang aku takutkan, setan dan hantu manusia menyebutnya, yang biasanya banyak di pekuburan.
Hanyalah orang–orang yang melampaui situasi baik dan buruk yang dapat duduk santai sendiri sepanjang hari di tempat ini. Maafkan aku semua sahabat, inilah nafsu jalangku yang kucita-citakan selama ini.
Duduk di kuburan sendiri... engkau tidak akan menyangka, wahai sahabatku!

04 November 2008

Tentang Perkataan "Percaya" dan "Setan"

Kepercayaan, demikianlah penduduk di sini menyebutnya. Sungguh amat dangkal pemahaman ini. Kepercayaan, bagaimana kita harus percaya, pasrah terhadap semuanya? Ada begitu banyak jebakan di dalamnya, wahai manusia! Karena terlalu sulit untuk menemukan bagaimana cara memahami yang di Atas, kuasa dari kata/istilah “percaya” dapat menggerogoti. Harus kukatakan, istilah “percaya” seperti mantera sesat, yang mengharapkan jalan pintas dalam sekali dengar, terutama bagi segala hati yang sedang lelah menatap hidup. Lebih baik kita tidak pernah memahami realitas yang paling dalam, daripada kita harus mengandalkan kata “percaya”. Kepercayaan seperti itu dapat menuntut manusia untuk hidup ini secara wajar. Tetapi bagiku itu adalah sebuah ketidak-wajaran yang diteriakkan orang banyak!
Andai engkau ingin mengandalkan kata “percaya”, maka kepercayaan itu haruslah selalu berubah –ubah.
Demikian juga, adalah dangkal kata ”iblis” ditafsirkan sebagai benda yang beterbangan di udara. Celakalah coretan tinta yang berbentuk “iblis”. Maafkan aku, iblis! Dalam hatiku yang paling dalam, ingin kubebaskan tuduhan sedemikian besar manusia kepadamu.
Suatu hal yang membuat-ku menyerah adalah “keluguan” para manusia yang menyembah. Lihatlah keluguan anak – anak yang menari di atas panggung untuk sebuah acara yang disebut Natal.
Malam ini aku merasa begitu jauh, mataku dipaksa untuk menengok hal yang sangat lugu di sebuah kota kecil .
Jauh… sangatlah jauh, untuk cepat sampai ke tempat yang dalam seperti ini... aku harus meninggalkan begitu banyak hal yang telah kugeluti.
Karena dimensi ruang dan waktu terlempar sedemikian jauh. Hanya kesadaran-lah yang mampu berperilaku seperti matahari atau komet, yang mampu menjangkau melampaui ruang dan waktu dari berbagai budaya dan tradisi.
Aku memang sangat senang ketika kesadaran-ku dilempar ke sana kemari sedemikian jauh oleh tubuh, agar ia, tingkat kehendakku ini terlatih untuk segala medan dan kecepatan larinya dapat menyerupai kilat .
Unik memang, ada sekelompok orang tua menari–nari di atas panggung demi sebuah nama yang disebut Tuhan. Ya… mengisi hari tua dengan tarian seperti itu sesungguhnya bukanlah hal yang baik untuk melatih kemampuan mencari realitas terdalam.
Mereka ini sedang mengendapkan sesuatu untuk dijadikan rumah surgawi. Ketika hasil endapan mengeras serta menyebar dan mengisi kolam ketidaksadaran, maka mereka akan berteriak dan mengatakan siap merelakan hari tua melewati tubuhnya, dan yang terakhir menghadapi kematian. Sebuah tipuan dari roh akal budi pikiran...

03 November 2008

Memulai Perjalanan

Perjalanan di pagi hari, aku menelusuri sisi timur menuju tenggara sebuah kota kecil. Lalu sebuah pasar kutemukan di sana. Aku melanjutkan perjalanan memasuki pinggiran kota. Perjalanan ini sangat menyenangkan. Kaki ini melangkah mengikuti keinginan nurani yang terdalam. Menerobos jalan–jalan setapak yang kecil, menelusuri dan menembus pagi yang sepi di antara deretan–deretan rumah. Tidak lama sampai-lah aku pada sebuah penghujung jalan buntu. Berdiri tegak, menatap mentari pagi yang muncul dari arah timur. Di depanku terhampar rerumputan dan pegunungan tinggi… Ingin aku tinggal lama di sini!
Perjalanan berlanjut dan membawaku melintasi sebuah pondok. Kebijaksanaanku menginginkan aku bertamu ke pondok itu dan memesan segelas teh. Di sana aku duduk dan bersantai, lalu tidak lama datanglah beberapa tamu secara berurutan. Yang aneh, ada seorang tamu mau bercerita banyak tentang kisahnya kepadaku tanpa mengenal siapa diriku. Ya, ia seolah ingin menyeretku masuk ke dalam petualangan hidupnya. Aku akan membiarkan kebijaksanaanku ikut serta. Aku telah terlibat ke dalam lingkungan ini, mereka menerimaku, sang ular berkaki empat itu. Adalah sang mulut dewa yang ia banggakan… karena dia, sang penguasa jiwa ini yang selalu mengaduk–ngaduk arus kehidupan di kota ini.
Cerita mengenai para perempuan di kota, aku melihat dari pancaran mata mereka yang mendamba… mereka tidak tahu bahwa merantau ke luar negeri untuk mendapati uang banyak, akan segera menjadi tradisi.


katharsis-holydiary (25122003_(2) 05:30)