Selamat Datang di Blog Diary Saya...

Anda dapat menelusuri Tulisan Lengkap saya tentang Proses Utuh Perjalanan Spiritual di:
http://katharsis-completejourney.blogspot.com/
Tulisan saya yang lain :
http://taskm.blogspot.com

31 Agustus 2009

Tentang Sore Hari

Sore menjelang malam… di sebuah pondok aku berteduh. Aku ingin mendengar apa yang akan terjadi pada angin–angin ini… sang pembawa suasana ini. Harus kukatakan: bahwa sore yang paling dalam pada manusia adalah kembali ke kediaman-nya.

Setiap jenis mahkluk memiliki masa aktif dan pasif dalam satu hari, satu bulan ataupun satu tahun. Sore sangat mirip dengan subuh.

Tapi, sore adalah perjalanan menuju subuh. Sore sangat lembut dan bergerak lamban menuju kekuatan dasyat puncak spiritual. Sore, seperti perjalanan transisi memasuki bibir–bibir teluk dari Roh Semesta… Aku lebih senang duduk bersama dia, sang sore ini… Duduk untuk memasuki gerbang malam. Malam adalah waktu untuk beristirahat, pikiran–pikiran perlahan melambat, hingga sang tidur datang untuk bergabung dengannya. Tidur yang bijaksana, kita harus menerima kedatangannya kapanpun di malam hari. Karena ia adalah tamu sekaligus sahabat Roh Semesta dalam wadah puncak eksistensi…

katharsis-holydiary [14012004(3)]

30 Agustus 2009

Roh Semesta Adalah Sang Nihilis?!

Gelisah! Desakan apa ini? Apa keinginan dari semua tamu yang hadir? Mereka semua sedang mencabit –cabit jiwaku. Jika salah satu dari mereka yang aku penuhi keinginannya, maka kebahagiaanku akan tumbuh di sana…
Yang pertama… sang perindu masa lalu, lalu sang pendamba masa depan yang menginginkan kehormatan dan kekayaan duniawi, lalu sang pendamba tubuh, kegilaan serta master tragedi dan yang terakhir Roh Semestaku.
Sekali lagi, apa yang kalian inginkan dariku? Wadah rohku hanya satu. Bagaimana kupenuhi ke enam mulut kalian yang berlahap–lahap seperti ikan mas di kolam, yang tidak pernah kenyang dengan air kehidupan. Semua jalan yang kalian tawarkan, sepertinya meminta pengorbanan... rasa duka yang dapat tersebar ke mana pun.
Tapi, dari semuanya, Roh Semesta, master tragedi dan sang pendamba tubuh-lah yang memiliki daya tarik paling besar. Saat sekarang, ketiga roh inilah yang menggerakkan jari jemariku untuk merangkai tulisan ini. Jika ke tiga mulut ini bergerak, maka tanganku pun ikut bergerak…
Aku curiga, aku sering melihat ketiga roh ini bergandengan tangan sambil jalan–jalan di ketinggian awan, ketika kupandang dari bawah. Tapi, ketika aku mendaki sampai di atas kepala dari segala roh, mereka memisahkan diri dan berjalan sendiri–sendiri. Yang paling sering kulihat berebutan jalan, adalah sang pendamba tubuh dan master tragedi itu… Ketika berebutan jalan, kelakuan mereka menyiksa jiwaku yang paling dalam. Tapi sebagai pelerai, sang Roh Semesta-lah yang selalu mendamaikan semua keributan itu. Lantas, semua tamu jadi ikut berteriak, bahwa Roh Semesta tidak memiliki aturan hidup yang jelas, kenapa manusia, yang jelas–jelas memiliki tubuh masih selalu mencari–cari aturan itu?!

Benarkah demikian? Bahwa Roh Semesta adalah sang nihilis itu... para kebetulan–kebetulan yang menyambar–nyambar dalam kehidupan dengan daya-daya finalnya. Atau pernah kusebut ia sebagai puncak kebermaknaan Roh Semesta… yang harus kita terima dengan kepasrahan yang berumur tua dan egoisme… sang kehendak utama dan kehendak turunan. Inilah yang kudapati akhirnya. Tapi, satu lagi, sesungguhnya Roh Semesta tanpa isi dan tanpa arah. Ia hanya memiliki posisi duduk yang dapat melihat semua sisi kehidupan, terutama ketika berada dalam kekosongannya sendiri.

Roh Semesta bergerak di dalam setiap roh keinginan dan kepasrahan yang netral, serta merupakan puncak dari segala pengetahuan yang kekal dan kesadaran...


katharsis-holydiary [14012004(3)]

29 Agustus 2009

...

Jika manusia masih memiliki nilai positif dan negatif dalam menilai terang dan gelap, maka ia masih memiliki rasa kasih dan rasa benci ciptaannya sendiri, bukan kasih dan benci eksistensi…

katharsis-holydiary [13012004(2)]

28 Agustus 2009

Kegilaan Yang Agung

Merindukan semua yang ditinggalkan dan mendambakan semua yang baru adalah posisi yang paling rawan terperosok dalam kegilaan, tapi sekaligus juga jalan untuk menjadi master tragedi.

Saat ini, diriku berada di antara ke empat kutub itu… Dua yang pertama kadang masih menarik atau menolakku. Dulu, mereka ini pernah mengkhianatiku dan mendorongku ke dalam ruang–ruang hampa, ruang kegelapan hutan, kegelapan lautan dalam, lembah–lembah curam bahkan… jiwaku pernah dipanggang di dalam tungku panas seperti pembakaran periuk adanya. Di dalam sana, arus ke tiga itu, sang abu periuk kegilaan dalam tungku, datang dan menggodaku serta berkata “Engkau dibentuk oleh pengrajin tanah liat yang buruk, campuranmu adalah campuran terkutuk dan tertolak. Kutukan untuk menjadikanmu tumpukan abu. Ada baiknya lepaskan jiwamu, karena retak tubuh jiwamu sudah kelihatan. Kembalilah ke takdirmu... kegilaan terhadap segalanya”.

Aku memang menyerah… menyerah kepada kepasrahan yang melampaui kegilaan pecahan–pecahan periuk itu. Mungkin, dunia mereka ini adalah neraka, dalam hatiku berkata. Kepasrahan kepada tragedi yang berlarut–larut, kemudian mengantarku berkenalan dengan seonggok roh yang melampaui wujud. Ia tinggal di puncak–puncak api. Puncak–puncak dalam pada abu yang paling hitam. Bahkan, ia terselubung di dalam sang penghuni tungku dan sang pengrajin periuk itu sendiri… Siapa dia sesungguhnya? Sang master tragedi; kupanggil dia kemudian! Ia mengajariku agar tangan–tangan jiwaku menjadi lincah untuk membuka topeng–topeng para perindu masa lampau dan masa depan tadi, Ya… sang pendamba yang ditinggalkan dan yang akan datang itu. Lalu, untuk kegilaan, ia bukanlah sebuah arus yang perlu dibenci dan dihindari. Sebenarnya ia sejajar dengan dua tamu yang pertama tadi. Bagi master tragedi, mereka bertiga memiliki kegilaan yang berbeda–beda, yang perlu dikasihani… demikianlah!

Sampai sekarang, telah kumunculkan jiwa sang master tragedi di dalam jiwaku. Ia adalah pejalan lamban yang cara jalannya sangat berbeda dengan cara jalan sang pendamba masa lalu dan masa depan. Suatu saat yang paling hening, di kedalaman hutan yang paling rimbun, kudengar ia ingin menolak segalanya… Ia, sepertinya memiliki muslihat untuk menumpuk gunung tragedi dalam jiwaku sekarang. Ia menuntut sesuatu. Aku fahami benar, bahwa keahlian memanfaatkan tumpukan tragedi adalah jalan tercepat menuju semesta kebijaksanaan, yang kemudian menghasilkan karya–karya yang bernafaskan kearifan hidup.

Tapi, sang master tragedi ini perlu dijinakkan. Ia harus dipertemukan dengan satu tamu lagi yang dapat mengendalikan keliarannya dalam mencari kebijaksanaan. Karena, di ujung terdalam dari keahlian sang master tragedi ini memiliki kegilaan yang lain, yaitu kegilaan yang agung…
Tamu terakhir yang tiba tadi... kunamakan Roh Semesta! Sesungguh-nya roh terakhir ini, terdapat di dalam diri setiap manusia, bahkan segala sesuatunya.
Ada tragedi yang datang dengan sangat kebetulan dan menumpuk, ia yang kita cari kebijaksanaannya. Tapi, ketika mengetahui jalan rahasia ini, kita perlu kebijaksanaan lebih besar untuk mengendalikan nafsu ini. Karena ia akan berbalik, untuk merencanakan dan menumpuk tragedi demi mencapai kebijaksanaan lebih cepat. Maka, berhati – hatilah! Inilah roh terakhir yang perlu kita waspadai… Kegelisahan untuk mengabarkannya kepada seluruh dunia… Gunung kebijaksanaan yang menggila…” Demikianlah, sabda Roh Semestaku yang terakhir... dan terutama kepada orang – orang suci!


katharsis-holydiary [13012004(2)]