Selamat Datang di Blog Diary Saya...

Anda dapat menelusuri Tulisan Lengkap saya tentang Proses Utuh Perjalanan Spiritual di:
http://katharsis-completejourney.blogspot.com/
Tulisan saya yang lain :
http://taskm.blogspot.com

29 Januari 2009

Tentang Pelangi

Ada jembatan para dewa yang terbentang di atas kaki langit... Pelangi, orang–orang menyebutnya! Tapi bagiku, ia hanyalah hiasan eksistensi dari ibu bumi… Ia begitu lama tertopang di langit yang keabuan. Ada apa ini? Apa ia ingin kuceritakan tentang jatidirinya yang paling hakiki? Baru ia akan beranjak dari hadapanku... Baiklah!

Seperti makna laut tanpa batas, demikian juga dengan dirimu. Selalu saja dirimu diperlakukan sebagai benda yang disembah, layaknya bulan purnama. Namun, dirimu jarang hadir, juga tidak di setiap hujan. Aku katakan: hadirnya dirimu sebenarnya pertanda ketidak penuhan. Perkawinan yang meminta matahari sebagai saksi dan hadiahnya adalah dirimu. Sang perempuan langit mamakai mahkota bianglala... cairan hujan. Ya, kufahami sekarang, semua tamu dari langit dan bumi hadir dalam acara sore ini. Dan semuanya sibuk membentuk hiasan sepertimu…

Jika memang demikian, engkau hanyalah seperti hiasan baju pengantin atau baju itu sendiri. Ternyata ibu bumi juga suka merias diri dan kehendaknya juga diturunkan pada semua mahkluk... esensialitas estetika? Harus kucari itu nanti, di antara baju–baju dan rumah-rumah para pendosa. Esensialitas estetika, ada di dalam setiap pekerjaan yang merupakan kehendak turunan dari setiap mahkluk. Kutangkap pelajaran dari hujan kali ini. Di dalam perkawinan ada canda. Tidak semuanya mengarah ke satu titik. Perkawinan adalah kehendak utama dan turunan. Apakah terkaanku benar wahai bianglala?

Engkau sudah mulai menjauh dengan mulut membisu… Bentangan di arah timur, matahari di arah barat, engkau datang menghampiri dari langit selatan ke utara dan beranjak dari langit utara ke selatan, sementara memang…

katharsis-holydiary[10012004(6)]

28 Januari 2009

...

Roh–roh selalu muncul di dalam jiwa, dimana menyerupai mahkluk yang muncul perlahan dari dalam rawa… ataupun dari dalam genangan lumpur... Atau dari genangan air yang dipenuhi bibit–bibit rumput. Hijau memang, dan ia dapat menipu kedalaman kolamnya pada kita…

katharsis-holydiary[09012004(5)]

24 Januari 2009

Sore Menjelang Malam...

Sore hari… kenapa begitu tenang dirimu? Matahari baru bersinar ketika usiamu sudah mencapai senja. Tapi tidak apa–apa, sepanjang hari ini, hawa yang engkau sebarkan di sekitarku telah membuatku beberapa kali akrab dengan Roh Semesta dan bermain ke dalam lorong–lorong rumahnya yang paling gelap dan misterius…

Kurasakan pula malam segera menjelang dan pertarunganku dengan tradisi buruk manusia mulai berlangsung. Bahwa malam hari penuh dengan misteri, roh–roh jahat dan pantas untuk ditakuti… Demikian, hal ini juga didukung oleh tubuh yang perlu istirahat. Seperti hari–hari sebelumnya, aku hanya dapat duduk diam dan menikmati kebermaknaan melewatiku begitu saja. Karena ragaku sudah lelah untuk merekamnya ke dalam perumpamaan–perumpamaan emas.

Tadi kudengar kodok mengorok–ngorok dengan kerasnya di dekatku, kupastikan gelembung di tenggorokannya sebesar buah rambutan.

Aku bukanlah takut pada sang malam di tempat ini. Hanya perlu kukatakan bahwa pada setiap malam di semua tempat bahkan pada tempat yang sama pun, memiliki lagu dan puji–pujian yang berbeda–beda. Baju, tingkah laku dan gaya rambut dari setiap malam juga berbeda–beda. Tapi dalam bungkusan yang berwarna–warni itu, selalu kutangkap gaya–gayanya yang sama dan paling dalam…

Akan kunikmati dan kubelai cadar–cadar penutup malam di tempat lain dan di mana pun, karena pada hakikatnya semua malam adalah sama. Hanya saja, hiasan dari dunia manusia yang membuat ia sedikit nakal dan tidak mau dirayu. Demikian, wahai tempat yang kupanasi ini, pondok ini dan seluruh tamu yang berwujud batu tua dan arwah…

katharsis-holydiary[09012004(5)]

22 Januari 2009

Bisikan Untuk Sebuah Tugas

Sore hari! Apa yang akan engkau semburkan kepada mayat–mayat dalam kubur itu? Apakah engkau akan membangunkannya! Aku tunggu itu, karena semua mahkluk adalah sahabatku. Aku tahu persis, bagaimana harus berbicara dengan mayat–mayat hidup. Akan kuajar dan kulepaskan arus hidup mereka yang rumit pada saat ia masih bernafas di dunia. Yang telah terkubur 100 tahun dalam tanah pun aku layani. Aku tidak akan mendobrak pintu peti mati untuk meniupkan nasehatku, tidak seperti sang trenggiling, yang selalu menghisap habis sari pati dari pada mayat yang telah lama terkubur.

Aku hanya akan duduk di pondok ini dan menunggu! Barang siapa yang masih gentayangan, silahkan menghadap aku! Lama memang aku memejamkan mata sambil merasakan… Sepertinya mereka telah dinetralkan oleh sang ibu bumi, aku harus mengucapkan rasa terima kasihku kepada-Nya…
Samar–samar kudengar pula Ia membisikkan ke relung telingaku yang terdalam, bahwa ini bukanlah tugasku. Tugasku adalah mengurusi dan membebaskan mahkluk–mahkluk yang masih bernafas... mahkluk–mahkluk yang masih salah mengenal induk dan yang salah menafsirkan nasehat.
Untuk membebaskan para mahkluk hidup, aku menggunakan banyak senjata dan mantera. Kadang, aku menggunakan air terdingin untuk disemburkan ke dalam buah pikiran seseorang. Atau, untuk orang–orang tertentu kugunakan cambuk api, tongkat berduri, dan kalau perlu kulemparkan mereka ke dalam lautan dan kukubur ke dalam tanah. Karena inilah ujian terberat yang pernah aku jalani, yang hasilnya, jadilah aku sang pemikir bebas…

Mengenai mantera–manteraku, tinggal kupilih dan kubacakan saja menurut setan–setan yang merasuki jiwa seseorang. Dan tentu, tidak lupa tariannya… tarian yang membuat semua setan itu terlena dan mabuk mengikuti arah gerakan cemetiku. Kemudian dapat kuusir para setan itu dengan sebuah guncangan kecil... dan selesai sudah! Andai sang ibu bumi memberikan nada–nada yang seirama dengan iramaku, maka hal ini akan lebih mudah lagi. Aku hanya perlu lewat di hadapan setan–setan itu, lalu dengan sendirinya mereka menguap menjadi asap, serta meledak–ledak di udara lepas… lalu sirna…


katharsis-holydiary[09012004(5)]

19 Januari 2009

Hujan Di Pekuburan

Apa itu? Kulihat pucuk–pucuk awan memakan tentakel bumi, sedang berlangsung perkawinan di sana…

Kali ini, kusaksikan hujan lebat di pekuburan, benar–benar memukau. Untuk melukis keindahan yang ditangkapnya, tanah dan tetumbuhan mengeluarkan aroma yang fana, agar sang perempuan semakin terpikat... Langit adalah perempuan.

Tidak hanya itu, rahim itu ada di permukaan bumi dan makanan akan disalurkan dari langit untuk diolah dan dicerna oleh bumi yang mengandung sang anak...
Sesungguhnya anak yang banyak dan tak terhitung. Inilah perkawinan itu. Dari masing–masing anak, haruslah terus tumbuh dan bertambah dewasa, sambil mencari siapa ibu yang mengandungnya dan menuruti nasehatnya. Serangkaian nasehat yang harus dibuka tabirnya dengan membungkam nafsu dan egoisme jiwa, bukan egoisme sang Roh Semesta. Dan terakhir, semua makhluk yang dilahirkan harus mencari nasehat ini. Nasehat dimana kemudian untuk memahami penuh akan peranannya dalam menjalani hidup di antara bentangan bumi dan langit.
Menelantarkan diri secara sadar adalah sulit. Siapa sanggup, berlari–lari sendirian di dataran luas yang penuh kubur dalam cuaca hujan. Dan akhirnya tiba di sebuah pondok reot serta tinggal sendirian di sana selama satu hari satu malam. Roh apa yang mengecut, hingga ia bersemangat lari seperti kuda? Sedang ngidam ia! Janin Roh Semesta yang sedang ngidam dalam jiwaku… Tak lama lagi, lahirlah bayi roh tersebut, dengan seribu satu sudut untuk berpikir…
Akan ada banjir pikiran emas di sana kemudian...

Kembali ke dalam masa dimana sedang mengandung Roh Semesta. Aku, yang dititiskan ke dalam kancah kehidupan akan bertingkah laku seperti orang tidak waras. Duduk sendiri meratapi sesuatu dari anak pagi sampai anak pagi berikutnya. Baju yang tertempel di tubuhku tidak pernah terurus. Makan pun hanya kadang–kadang, karena aku telah mendapat santapan yang dilemparkan oleh jiwa. Di balik masa – masa seperti ini, ada resiko besar diriku tidak pernah kembali... kembali dengan jiwa berbeda…

Dengan adanya hujan lebat, siang tertutup, sore pun menjelang. Aku akan mendudukkan ketenanganku untuk menunggu... Menunggu pesan dari ia yang berumur senja kali ini...

Kenapa setelah masturbasi, angin berhenti. Jangan–jangan angin yang bertiup ini menyerupai rayuan–rayuan seorang suami yang ditujukan ke istri. Aku tahu itu! Sekarang masing–masing dari mereka sedang beristirahat, sambil bercumbu kecil. Kurasakan dari angin lembut yang menerpaku sesekali. Semua rumput tinggi pun diam, menunggu proses pembentukan janin dari anak–anak kehidupan baru. Kurasakan juga sang perempuan langit ini... ia sedang mengusap–ngusap rahimnya. Apa ini? Apakah dari hubungan yang berakhir dengan hujan ini, hanya bertujuan untuk memperoleh anak… anak–anak yang sehat terutama! Aku rasakan juga demikian pada semua makhluk; bahwa dalam perkawinan, anaklah yang menjadi pusatnya. Di dalam anak, seluruh desah nafas dan jiwa dari jantan dan betina menyatu. Dengan adanya anak, sang jantan dan betina akan selalu saling merasuki, seiring terkuaknya pelan–pelan keinginan roh semesta alam. Tapi, hampir seluruh makhluk hanya melihat sekilas Roh Semesta di balik cadar, ketika hujan mencapai puncaknya yang paling lebat. Hanya segelintir orang atau hanya aku sendiri yang sanggup menangkap serta berkunjung dan berbincang–bincang dengan Roh Semesta di pulau kediamannya. Ketahuilah, kadang – kadang kami memancing bersama, mandi bersama, tidur bersama bahkan sampai mengusir setan pun kami bersama…

Tadi siang matahari sangat membakar. Untuk menggerakkan tubuh ini, kutunggu sampai lempeng awan terbesar melewatinya. Kuatur pula waktunya, agar aku tepat sampai ke tempat santap siangku…


katharsis-holydiary[09012004(5)]

17 Januari 2009

Sebatang Pohon di Padang Gurun

Mata yang berbentuk segitiga terbalik adalah mata yang terlalu sering menantang sinar matahari. Atau segala matahari dari pemikiran–pemikiran dalam…

Perasaan apa yang kita temukan pada sebatang pohon yang berdiri tegak di antara padang gurun sendirian? Bukankah kita tidak akan menebangnya? Apalagi ketika ia menyatu dengan langit di sore hari. Ia memancar seperti oasis, ia adalah sebuah sumber dan ia adalah terang. Tanpa ia, kemuliaan langit dan padang gurun yang luas akan sulit dibelai oleh kita. Ia-lah sang penyalur. Tangan – tangannya begitu jelas bagiku.


Inilah perumpamaan untuk roh pemikiran-ku yang unik, yang berdiri sendiri di antara keramaian hutan pemikiran yang ada. Telah tiba aku pada tempat dimana aku harus bertumbuh… Dan sekarang, roh pemikiranku telah bertunas dan mulai meninggi. Suatu saat nanti, keramaian dalam hutan pemikiran dari segala penjuru dan dari segala dimensi akan menoleh ke arahku. Akan kutiup dan kulemparkan mantera–mantera pikiranku yang lepas. Begitu lembutnya. Ia akan menjangkau ke setiap urat dan ke setiap jiwa terdalam yang terbelenggu…

katharsis-holydiary[09012004(5)]

15 Januari 2009

Roh Terselubung

Tadi, di depanku terlintas sebanyak dua kali, orang gila yang sedang bergumam. Perkawinan alam pun tidak mampu mendinginkan lidah api kegilaan dalam dirinya. Sungguh parah, kesakitan pada dunia kecilnya itu. Lebih tepatnya: kebutaan yang menyeluruh dengan semangat membakar seperti roh–roh pada umumnya. Apa yang mampu membalikkan penguasa roh selubung itu? Harus kutunggu waktu yang tepat dari kesepakatan hukum Roh Semesta, agar ucapan–ucapan dari mulutku kepadanya sealiran dan menyatu dengan gelombang emosional alam… demikian!

Ubi rebus kucium itu, ketika tanganku yang gosong terkena sinar matahari kusirami dengan air.
Baru saja kulihat mahkluk pasir lewat di hadapanku. Dengan tinggi sekitar dua meter, ia berjalan menyentuh tanah seolah mau terbang. Ia memang ditakdirkan hidup di kulit bumi, maka seandainya ia bercita–cita ingin melayang di udara, itu tidak akan lama. Sama seperti manusia, yang menyelam dalam air tanpa menggunakan alat.
Sebuah kesenangan yang sama, pada mahkluk yang berbeda, dalam mengisi kehidupan sehari–hari…


katharsis-holydiary[09012004(5)]

14 Januari 2009

Perkawinan Bumi dan Langit

Lihat! Ada pilar cahaya besar tepat terjulur di puncak gunung, sang pembentuknya ada lubang awan. Kulihat pula ia sedang membaptis gunung… Ya, gunung adalah tentakel bumi yang bersalaman dengan langit melalui pucuk–pucuk awannya.

Tiba – tiba kurasakan perkawinan langit dan bumi sudah dekat, yang mencapai masturbasi dengan menghasilkan hujan. Dengan demikian, alam menghasilkan banyak mahkluk baru. Bukankah langit dan bumi juga menghasilkan anak?! Kukatakan rahasia alam ini pada semua mahkluk, termasuk manusia. Dalam gejolak jiwa yang terdalam dan terselubung, sebenarnya waktu perkawinan dua anak manusia yang sangat mendekati tiupan angin Roh Semesta adalah pada saat mendung dan hujan…
Ikutilah irama perkawinan langit dan bumi itu, agar Roh Semesta dan tubuh dapat menari-nari di atas rerumputan lebat yang disirami hujan... Dan, tetesan–tetesan air sendiri, pada saat seperti itu memiliki kepenuhan roh semesta yang paling telanjang.

Inilah puncak kebahagiaan semesta raya, waktu eksistensial yang tepat; kusebut itu!
Bukankah… mendung dan tetesan gerimis di sore menjelang malam membuat semua mahkluk hawa terlihat begitu indah? Keindahan yang melampaui hal–hal dunia. Inilah bisikan terdalammu wahai semua kaum adam!


katharsis-holydiary[09012004(5)]

12 Januari 2009

Pekuburan...

Kembali ke awal, tantangan kebermaknaan tumpang tindih di suatu tempat. Apa yang terjadi?
Mahkluk trenggiling sang pengorek kubur dan jenazah, sekaligus sang pendobrak pintu peti mati… dan manusia sendiri, pintu peti mati dijadikan jembatan.
Ke mana ketakutanku yang awal terhadap pekuburan? Aku tidak merasakan apa pun, malah langkah–langkahku semakin mantap, seperti ditopang oleh arwah–arwah dari seluruh kuburan ini. Ini adalah sebuah kemajuan bagi roh-ku, bahwa terang dan gelap memiliki ketakutan yang sama…
Suara elangkah itu, di kejauhan sana? Ada rumah burung bangkai di sana dan mereka semua sedang menikmati hari–hari yang hangat…

Ketika sinar matahari meredup di antara pekuburan, perubahan besar terjadi, peranggai keheningan berbicara. Apa yang ingin disampaikan, tidaklah terbaca olehku. Sungguh aneh! Tapi aku sangat tenang di sini...

Ketenangan yang menetap bukan karena rasa penasaranku terhadap yang tidak terbaca itu... oleh pikiran, tapi Roh Semesta-ku sudah memahaminya.
Perhatian penuh dalam Roh Semesta adalah berbeda dengan perhatian penuh pada pikiran. Hidup di antara manusia, kita perlukan keduanya. Sedang hidup dalam kesendirian yang lama, hanya perlu yang pertama. Apakah perhatian penuh Roh Semesta berada di dalam perhatian penuh pikiran? Seharusnya memang demikian, agar apa yang disebut lupa itu tidak ada dan biasanya semua ini dimulai dengan berjalan dengan kelambaman.

Manusia berkhayal dapat terbang seperti burung, sedang burung berkhayal dapat berjalan seperti manusia, dua–duanya melanggar. Dan egoisme-lah yang berbicara banyak. Atau, ini dapat menjadi jiwa penyair dari sang burung. Perumpamaan dari sang burung untuk bercerita tentang penemuan Roh Semesta di dalam dirinya.

“Adalah rasa iriku melihat Roh Semesta berjalan menembusi lapisan–lapisan kabut di udara, sebuah ayunan langkah yang perlahan namun mantap. Itulah karakter Roh Semesta dalam diri setiap burung” demikian perumpamaan dari sang burung.

Ikan–ikan di laut juga berlaku sama. Mereka yang berada di dalam air mengagumi semua yang merangkak di dasar laut dan yang berada di permukaan. Sedang, yang hidup di permukaan, ingin naik ke darat atau kalau bisa mereka ingin terbang. Ya, satu–satunya mahkluk di luar manusia yang ingin hidup di segala alam adalah sang reptil. Berkuasa atas segala alam menurut kehendaknya. Bukankah mereka semua banyak menjadi pujaan manusia, di dalam mitos–mitos contohnya.

Baru saja kulihat ada ular berkaki empat berselaput, berekor panjang, berahang lebar dan badannya ramping… ia dapat hidup dalam segala alam, mahkluk kecil ini.
Evolusi adalah cara kerja kehendak turunan dari setiap mahkluk yang saling mempengaruhi. Sebuah gerak menyeluruh yang selalu dirintangi oleh nafsu dan egoisme dari semua mahkluk itu sendiri... sepanjang kehidupan.


katharsis-holydiary[09012004(5)]

10 Januari 2009

Keunikan Jalur Hidup

Dalam permasalahan adam dan hawa, Roh Semesta memiliki aturan sendiri. Bahkan dalam diriku, serta nafsu badanku yang paling dalam sekalipun tidak akan mampu menggulingkannya. Kadang, kelengkapan tubuh kita yang seharusnya berfungsi pada wadahnya dalam masa hidup kita tidak terpenuhi. Ini adalah sebuah kecacatan di luar tubuh yang harus kita terima dengan penuh syukur…
Sebuah kecacatan yang terdapat pada jalur hidup kita, bukan pada tubuh ataupun pikiran jiwa kita. Ketahuilah: tubuh, pikiran, jiwa dan jalur waktu hidup kita adalah satu. Dan di dalam semua itu terwujudlah satu mahkluk, yang memiliki keunikannya sendiri. Maka, ketika kita menggunakan sebuah timbangan di antara semua itu, akan keluar istilah–istilah seperti kekurangan dan kelebihan…

Demikianlah, kepada mahkluk yang miskin, cacat tubuh dan cacat pula jalur hidupnya: “Bukanlah gunung kesedihan yang harus kalian tanggung, tapi penglihatan yang kalian miliki untuk melihat ke dalam keunikan dirimu. Gunung kesedihan itu ada, hanya karena dirimu telah dirasuki oleh aturan–aturan global buatan manusia, seperti setan budaya dan racun–racun pengetahuan. Mereka semua menjadi bahan baku yang kemudian mencetak jiwamu hingga pada jengkal yang paling dalam. Dan akhirnya... mereka berubah menjadi berbagai beban penyeimbang, bahkan akan menjadi timbangan itu sendiri…”

Inilah yang ingin kukabarkan kepada gadis lugu yang baru saja lewat di hadapanku. Yang memikul 3 kantong pakaian kotor dibungkus dengan kain–kain lusuh. Juga, kulihat di balik jeruji wajahnya, hati yang berat. Berat karena memikul kecacatan akan jalur waktu hidup… aku tahu itu!

Dan tanpa berbicara, kulihat hatinya berteriak: “Aku hanya ingin hidup sedikit lebih lama, selain itu tidak ada lagi”. Sungguh berat ingin kukatakan, bahwa roh semesta tidak pernah mengenal apa yang disebut waktu manusia untuk hidup lebih lama atau lebih singkat. Semua itu adalah sama, apakah kita mampu melihat roh semesta dengan hidup yang singkat daripada orang lain?
Seandainya di tengah perjalanan hidup kita yang singkat ini, kita menjalani pekerjaan mengikuti roh semesta. Maka kita akan melihat keunikan diri kita yang esensial, sekaligus pula membuka pintu tangan kita lebar–lebar untuk menyambut sebuah kematian... kematian yang diberkati memang! Adalah sebuah keindahan esensial tersendiri, andai sebuah hal berlangsung dengan sangat singkat… Itulah yang kuketahui agar kita cepat menemukan roh semesta, yang selalu bersembunyi di balik hati dan bergerak seperti kilat dan angin puyuh.


katharsis-holydiary[08012004(4)]

08 Januari 2009

Jalur Roh Semesta ~ Bahasa Universal

Ke mana langkah selanjutnya yang harus kutuju?
Pada hakikatnya, seluruh bumi dan kehidupan ini terbuka lebar untuk kita kunjungi. Apakah kemantapan Roh Semesta kita sudah cukup sanggup? Itulah pertanyaan intinya. Karena Roh Semesta adalah bahasa universal yang dapat difahami oleh seluruh makhluk di alam raya ini, termasuk roh-roh api dari neraka terdalam.


katharsis-holydiary[08012004(4)]

06 Januari 2009

Roh Keras Yang Menyembuhkan ~ Penghambat Kesadaran

Sore hari… pernah kulihat: kenangan masa lalu bercampur dengan kebermaknaan dari sang alam. Adalah sangat sulit untuk memilah dua kebermaknaan ini, pohon–pohon yang panjang umur!
Aku yakin sekali, di dalam pencarian kita akan makhluk adam dan hawa; ada kepingan–kepingan kehendak yang merupakan bagian dari bentuk utuh kehendak utama kita, tapi Roh Semesta kita memiliki aturan main di dalamnya... kapan waktu dan tempat yang paling tepat untuk hal–hal demikian!

Bekerja untuk pekerjaan itu sendiri... dan di dalamnya ada kehendak waktu dan tempat akan adanya pertemuan dengan kaum pasangan kita masing–masing. Tapi, andai sampai akhir hayat, tak kunjung tiba juga waktunya, maka adalah kehendak jalur Roh Semesta kita, bahwa kita diibaratkan untuk lahir seperti seseorang yang tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap. Demikian kecacatan kita, di sisi itulah kekurangan kita, yang sesungguhnya adalah kecacatan dan kekurangan yang memberikan berkah... dalam pekerjaan eksistensial kita, wahai seluruh manusia!

Kenangan yang terlalu indah selalu bercampur dan menyamar diri dengan pengalaman dengan Roh Semesta, sekali lagi!
Kembali ke tempat lama, untuk menguji dan menyaring pengalaman Roh Semesta dari kenangan yang dalam, apakah pada kenangan setiap orang selalu terikat erat Roh Semesta? Tidaklah demikian, pikiran metafisik-lah yang mereka tempelkan... metafisika subjektif; ku sebut itu! Yang mempunyai peranan paling besar. Ternyata ia juga sedemikian bermakna, bahkan dapat mengimbangi Roh Semesta. Ia dapat memegang hidup matinya seorang anak manusia, bahkan ia dapat menyembuhkan banyak jenis penyakit dan, memperpanjang usia seseorang.

Ya, inilah karakter tingkat roh… tinggal bagaimana seorang manusia mengasahnya.
Sudah lama kukenal tingkah laku para roh–roh ini. Mereka seperti binatang parasit, andai Roh Semesta yang pegang kendali di dalam diriku…
katharsis-holydiary[07012004(3)-16:26]

05 Januari 2009

Kehendak Sang Induk

Fajar baru telah tiba, di balik beban yang maha berat terdapat kebahagiaan universal. Mari temui semua makhluk di permukaan bumi untuk menengok mereka yang masih menahan malam. Mari bersatu dengan mentari untuk memberikan senyuman dan kata–kata indah yang universal. Hembuskan kepada semua yang ada di pagi hari, agar mereka mencium harum kebahagiaan surgawi...

Oh bulan terbenam matahari terbit, masih perlukah aku pelajari bahasa penyalur dari kalian semua? Agar aku lebih lagi menyerupai pagi hari. Aku akan belajar untuk jalur yang satu itu, biarpun sembilan anak sungai menggabungkan arusnya untuk menghempasku. Sekalian juga semua roh–roh jahat, datanglah kalian, nafas–nafas kalian yang paling busuklah yang perlu dihembuskan ke hadapanku, agar teruji semua kata–kataku. Bahwa ia mewakili roh semesta yang turun ke dunia dan menyatu dengan semua burung di udara…
Kita semua dan segala mahkluk yang hidup di tanah, air dan udara adalah saudara–saudara yang lahir dari satu rahim. Perbedaan kita sesungguhnya, kita berebutan dan berlomba–lomba menunjuk siapa sebenarnya induk kita... Induk! Tidaklah perlu kita cari ke manapun. Belajarlah dari keluarga burung yang bersarang di atas pohon… insting berjalan mengikuti induk tanpa belajar. Kita sendiri, wahai manusia, roh semesta kita sanggup melampaui keluarga burung itu! Keluarga dan kepedulian kita di dalamnya hanya sebatas seperti keluarga burung itu, yang pada hakikatnya dapat menganggap keluarga lain bukan keluarga kita. Maka lahir-lah kata–kata sahabat yang memiliki makna terbatas, lalu timbul perbedaan, dan ini adalah akar tumbuhnya tunas–tunas yang meracuni roh semesta.

Hakikat keluarga perlu kita penuhi demi keberlangsungan hidup tubuh. Sebaliknya, keluarga kita seperti sebuah bagian tubuh dari keluarga–keluarga lain, yang sama–sama berjalan pada kehendak utama hingga memahami bahasa sang induk. Engkau tahu wahai manusia, tangisan induk kita telah berlangsung sedemikian lama, yaitu sejak para manusia memusuhi kawanan serigala dan malam hari. Aku sendiri, sebagai cucu yang terkecil, yang telah dihasilkan dari beribu–ribu keturunan hingga sekarang, masihlah sanggup melihat dan memahami keinginan sang induk. Induk kita melahirkan semua makhluk, lalu menempatkan roh semesta di dalamnya. Maka, tugasku adalah untuk meneriakkan pada semua mahkluk: “Hidup dan berjalanlah. Janganlah hidup di antara keramaian yang membentuk kelompok. Aku takut hanya sedikit madu yang kita dapatkan di sana. Karena akan lebih banyak kotoran yang hinggap di dalam jiwamu nantinya. Sulit kiranya kubersihkan, ketika engkau menemuiku lagi...”
Sudah saatnya jiwaku turun ke lembah–lembah sebagai penghembus kedamaian...
Aku sedang mencari jalur... jalur untuk memberitakan bahwa segala sesuatu adalah satu.


katharsis-holydiary[07012004(3)-05:00]