Selamat Datang di Blog Diary Saya...

Anda dapat menelusuri Tulisan Lengkap saya tentang Proses Utuh Perjalanan Spiritual di:
http://katharsis-completejourney.blogspot.com/
Tulisan saya yang lain :
http://taskm.blogspot.com

31 Desember 2008

Jurang Kasih Ketidaktahuan

Di dalam kedalaman yang paling dalam, ketakutan besar memperlihatkan wujudnya... raja dari segala ketakutan. Sungguh, ternyata hidup ini dapat kita fahami, tapi bukan karena kerumitannya yang tanpa jalan keluar... yang menjadi raksasa dari segala ketakutan. Begitu acak, kekosongan tanpa makna. Inilah yang kudapati dari tengah malam yang hening.
Kepolosan dari segala anak! Aku menyimpan kasih eksistensi untuk setiap mereka yang kutemui, bukan terletak pada satu anak, tapi di dalam satu anak aku dapat melihat jiwa dari segala anak... Perhatian yang dalam memang!

Roh Semestaku tiba – tiba memperlihatkan kepadaku: bahwa semua orang yang kukunjungi menjadi jiwa seorang anak... kepolosannya, ketidaktahuan-nya akan kehidupan ini. Sungguh berbahaya jurang kasih ini. Inilah yang membuatku gelisah. Banyak kulihat dari mata orang–orang dewasa, ketidaktahuan-nya kadang mengejar-ngejar ingin membunuhku… Apakah batu sandaran terakhir adalah roh semestaku? Sepertinya tidak demikian, justru raja ketidaktahuan ini berada di dalam setiap langkah dari roh semestaku. Ya, sebuah tanggungan yang begitu besar. Aku seperti memikul beban ketidaktahuan seluruh mahkluk bumi, andai jiwaku berada di puncak... Bagaimana ini? Hal ini dapat berlangsung di setiap saat. Inilah puncak–puncak terberat. Ia bukan lagi beban karena kehilangan materi, bukan juga hati yang patah karena mencinta.
Beban yang membumi dan menjulang ke semesta ini... harus kuberitakan kefanaan ini. Ia mendesakku. Aku harus berhati–hati! Pemberitaan ini dapat menjadi arus balik yang mematikan, karena tanggungannya akan bertambah dari dunia bawah.
Apakah aku masih bergelantungan di udara? Karena kurasakan desakan dari roh semesta, sekaligus desakan dari dunia manusia.

Pemberitaan yang tanpa berharap. Andai tanpa berharap, bagaimana aku harus memecahkan batu keras ketidaktahuan umat manusia?! Inilah segala dari yang berat. Tanggungan yang datang dari laut terdalam dan puncak – puncak gunung, bahkan matahari dan bulan pun ikut–ikutan berdiri di pundakku, dan segala benda di semesta raya ini…

Tapi, di dalam kediaman yang maha berat itu, aku perlu mengundang semacam egoisme Roh Semesta… egoisme surgawi... Menikmati jiwa terdalam, sendirian! Ya, taman yang sangat luas dan hijau, tapi tidak kutemui sesosok wujud sepertiku di sini... Hanya pernah sesekali kulihat, ada orang tua bongkok yang berlalu di kejauhan taman. Siapa sesungguhnya dia? Apakah dia memiliki resep pemberitaan akan adanya taman ini bagi manusia–manusia di dunia? Aku tidak yakin, pernah kukirim anak jiwa terdalamku untuk melihat kedalaman hatinya, tapi yang kutemukan adalah kekecewaan semesta yang membeku dan membuta. Pernah kunasehati kepadanya, ”Buanglah batu itu, egoisme surgawi sedang menunggu!”

Lalu, kebijaksanaan-nya yang bongkok berkata, “Anak muda, egoisme roh semesta yang belum matang yang engkau nikmati. Di dalam taman ini kita memiliki tugas terberat... Raja–raja kekecewaan-lah yang ada di sini. Apa engkau sanggup membuangnya? Kekecewaan surgawi, aku menyebut pada akhirnya”.

Oh kedalaman, sesungguhnya aku pun memahami hal itu, subuh hari, di dalam taman ini. Kekecewaan surgawi dan kebahagiaan surgawi berdiri di hadapanku. Aku bersujud, silahkan kalian merasuk ke dalam tubuhku, biar kulampaui... Andai di dalam kalian masih ada jalan.
Jalan!… jalan! Mungkinkah itu surga pribadi? Tapi surga pribadiku adalah tanpa batas, hanya aku yang memahami bagaimana berbicara dengan matahari dan bulan, dan hanya aku yang mampu meneriakkan dan menerbangkan suaraku, serta menanyakan kabar pada bintang yang paling jauh…
Jangan mengatakan ini surga pribadi, wahai seluruh mahkluk bumi dan surga, terutama engkau orang tua bongkok! Di sinilah tempat persinggahan terakhir kita, yang sebenarnya rumah dari seluruh makhluk semesta, termasuk ular–ular dan babi–babiku yang sering dikutuk…
Di dalam sini, kita semua akan melihat bagaimana tikus bersahabat dengan kucing… dan serigala-serigala bermain di padang domba.
Kewajaran pada kelahiran dan kematian, akan kita lihat di sini yang memenuhi kehendak bumi!


katharsis-holydiary[07012004(3)-00:45)]

30 Desember 2008

Pergi Tanpa Tujuan

Baru saja, aku kedatangan laba – laba hijau. Layaknya penerjun udara yang ahli, ia meloncat dari dedaunan yang paling tinggi di atas kepalaku. Penerjun yang hebat dan berani. Memang, ia ditakdirkan untuk hidup bergelantungan di udara. Kedinamisan yang lamban pada alam juga tercermin pada tempat dan bentuk fisik dari mahkluk hidup. Laba–laba hijau adalah mahkluk transisi antara hewan darat dan udara.
Demikian, darat dan air, darat dan bawah tanah atau udara di atas udara...
Jiwa terdalamku dapat menjadi semua mahkluk tersebut, tapi tubuhku tidaklah demikian.
Golok yang membengkok sejajar gerakan tangan, agar tenaga penebasan didukung oleh alam dan akan lebih kuat... Maka, demikian juga kuatur bengkokan jiwaku, agar aku dapat hidup dalam dua dunia.

Ada kejanggalan di dalam diriku, yang selalu menghindar ke dalam kondisi manusia yang paling dikucilkan. Duduk di pojok koridor sekolahan di hari minggu sore yang sepi, tapi di sinilah pemikiran – pemikiran besar akan beranak pinak…
Ada begitu banyak orang yang terheran–heran melihatku... pergi tanpa tujuan. Apakah itu yang terpancar dari wajahku? Ya, memang demikian. Manusia yang memiliki rumah di mana – mana, itulah rumahku. Rumah yang paling buruk pun, menjadi rumahku. Takdir yang paling buruk pun sering kujumpai...
Aku ingin tahu, apakah kenakalan anak–anak sekolahan itu akan menjalar ke tempatku, yang kadang dapat menjadi sesuatu yang baik, sebagai nasehat untuk orang tua…


katharsis-holydiary[06012004(2)]

29 Desember 2008

Satu Mahkluk

Siang hari yang terik, kuumpankan diriku pada pohon di sampingku. Dengan penutup daun sedemikian lebat... segar bagi jiwaku!

Aku tahu benar, bahwa dedaunan bakau untuk menyerap tenaga sang surya, tapi ia selalu memiliki tempat untuk bertamu di siang hari seperti ini.
Memang, manusia dan pohon adalah satu mahkluk adanya. Dan jika kita mampu merasakan dengan Roh Semesta… seluruh dunia dan semesta ini, pada realitas terdalam adalah satu mahkluk... mahkluk yang besar memang.


katharsis-holydiary[06012004(2)]

11 Desember 2008

Penghakiman...

Suatu hari nanti akan kupasang mata kapak yang baru untuk menebang semua pohon rasionalitas yang tumbuh menjulang tinggi. Mata kapak yang paling mematikan, yang kutempa dan ku-asah di dalam hutan – hutan yang paling hening…

katharsis-holydiary[06012004(2)]

10 Desember 2008

Kehendak Utama dan Kehendak Turunan (II)

Sungguh sulit membawa berita keindahan alam pada manusia–manusia yang sedang mati... kematian yang masih bergerak! Kalau begitu, haruskah kusebut manusia seluruh bumi ini sebagai mayat yang hidup. Ya, beginilah perumpamaan dan mata dari Roh Semesta terhadap penduduk bumi.
Pisang–pisang yang dihasilkan, bahwa sang pohon berniat membuka pasar dengan kita manusia. Buah pisang adalah hasil dari kehendak turunan dari sang pohon, dan jika kita ingin mengambilnya haruslah kita tukar dengan kehendak turunan kita juga. Pekerjaan turunan kita harus satu bahasa dengannya…

Lihat anak–anak itu... keceriaan yang dalam, kusebut itu! Mereka perlu sang induk untuk membentuknya menjadi berdiri tegak di atas tanah. Adalah pekerjaan yang telah selesai untuk semua makhluk, jika semua keturunannya telah menemukan kehendak turunan-nya yang khas. Pada saat seperti itu, hidup dari sang induk sudah selesai untuk sang kehendak utama-nya sendiri. Apakah demikian?

Semangat yang ada, hanyalah godaan dari pada pikiran yang intuitif dan rasional… kehendak utama untuk beranak sudah redup. Apakah sudah selesai tugas untuk sang induk di dunia ini?
Tidaklah demikian, kehendak turunannya harus dilanjutkan untuk mencari Roh Semesta hingga menemui ajal...


katharsis-holydiary[06012004(2)]

09 Desember 2008

Kehendak Utama dan Kehendak Turunan

Aku harus belajar perumpamaan dari angin kali ini. Sungai ke-9 aku berhenti, dan aku beristirahat di sana. Lihatlah batang–batang pohon yang meruncing itu, siap ditancapkan ke tanah untuk membentuk jalur-jalur sungai. Sungguh sebuah kehendak turunan dari sang manusia untuk bertahan hidup... untuk memenuhi kehendak utama... kehendak untuk hidup.

Juga, kulihat tunas pisang yang baru tumbuh. Pelajaran tentang alam baru saja dimulai untuknya. Apakah engkau tahu, bahwa buah–buah yang tumbuh dari segala pikiran adalah seperti susu yang dihasilkan binatang. Itu adalah makanan yang dihasilkannya, di samping ada keturunan fisik, setumpuk makanan dari kehendak utama.

Agar kehendak utama dapat berjalan terus untuk dilengkapi dengan kehendak turunan: makanan seperti inilah yang patut disantap. Tanpa perlu sebuah proses pembakaran. Bicara soal pembakaran dalam hal ini berarti bicara soal esensialitas dari memasak. Api yang diperlukan dalam memasak. Pungutlah kayu–kayu dan tetumbuhan yang sudah mati. Di dalam kekeringan batang tua itu akan menyulut formasi dan bentuk api yang paling essensial untuk memasak, pembakaran! Bagaimana dengan daging–daging binatang dan daun–daun dari tetumbuhan? Apakah yang telah menghasilkan keturunan yang akan kita korbankan untuk kita santap? Tidaklah demikian. Dalam kehendak utama, untuk menyantap ada yang disebut pembunuhan secara acak dengan satu tujuan untuk disantap... santapan kehendak utama. Sedang, pengumpulan bahan makanan yang dikelola oleh satu tubuh untuk orang lain akan diperlukan media pertukaran, maka terjadilah pasar dan uang. Uang adalah lambang kapitalisme dan negara, perlu kita sadari hal itu!

Kutegaskan, bahwa pasar lebih esensial daripada uang... Pasar adalah seperti interaksi sosial yang esensial. Pertukaran barang yang hanya berlaku dan tentunya barang itu dihasilkan dari esensialitas perseorangan dalam pekerjaan – nya… mungkin sebut saja pekerjaan turunan.
Bagaimana seseorang menjalankan kehendak utamanya? Pada awalnya, ia dipengaruhi kehendak utama dan turunan dari orang–orang lain, kemudian membentuk karakter khas terhadap kehendak turunannya nanti…

Maka, andai budaya mencerminkan pengakuan keseragaman pada sesuatu yang sebenarnya khas secara kejiwaan adalah tidak perlu. Karena di dalam budaya, ada sebuah jebakan ikatan kelompok per kelompok yang dapat membutakan kehendak turunan yang sudah khas pada tiap orang. Maka, budaya adalah identik dengan negara. Keinginan untuk menaklukkan makhluk lain yang sebenarnya tidak esensial. Di sinilah akar dari segalanya dan terutama tentang tradisi agama...

Bagaimana dengan objektivitas rasionalitas, bukankah itu keseragaman yang perlu dipermasalahkan?
Bagaimana menciptakan keseragaman, agar dapat berkomunikasi, tapi semua masih melihat kehendak turunan dari pekerjaan yang paling hakiki? Apakah dalam keseragaman ada yang paling esensial?
Keseragaman yang sangat abstrak, sebuah bahasa yang bukan dengan tulisan ataupun bicara tentang tulisan, tidak ada huruf. Yang ada hanyalah nafas... gerakan dari seluruh tubuh..
Ya, jadilah manusia menjadi binatang, perlu direnungkan lebih lanjut!

katharsis-holydiary[06012004(2)]

08 Desember 2008

Perubahan Yang Tanpa Isi

Perjalanan menelusuri 9 anak sungai, yang kutemukan adalah keramaian yang semakin sepi... Selalu kulihat binatang–binatang sudah berada di rumahnya. Di sebuah pondok aku berhenti, di depanku mengalir anak sungai yang panjang dengan langit terang benderang di atasnya. Tapi tidak lama, hujan yang tidak diundang pun turun...

Keanehannya adalah: kenikmatan akan perubahan yang tanpa isi. Di mana letak ketertarikan dalam hujan ini? Aku hanya dapat duduk tinggal bersamanya tanpa bisa berpikir. Selalu saja, aku berusaha menyelam ke dalam hujan dengan memejamkan mataku. Perubahan yang bermakna tersebut akan terpecah – pecah ke dalam kebermaknaan. Yang di dalamnya ketersamaran akan bercabang ke dalam indera.
Ya... hanya dapat tinggal di dalam bersama mereka, tanpa dapat berpikir!


katharsis-holydiary[06012004(2)]

07 Desember 2008

Penikmat Segala Keburukan

Ya... malam ini, kulminasi beban kupancing dan kuumpankan kembali…
Untuk melihat kembali anak–anak tangga yang mengantarku pada roh semesta. Beban dan takdir-lah yang menjadikan hari–hariku seperti ini... seperti sekarang ini. Duduk menikmati kesendirian, menelusuri jalan – jalan yang tidak pernah dikunjungi manusia. Sebuah jalan menanjak yang tidak berujung dimana setiap saat aku masih dapat melihat ke bawah. Dari atas sini kudapati dengan jelas bahwa setiap manusia sesungguhnya membawa belati di punggung dan setiap saat siap menikam sesamanya…

Pernah kuajak beberapa orang untuk mengikuti jalanku, tapi mereka takut ketinggian… ketinggian yang membakar sekaligus membeku. Di atas sini, kita akan berkenalan dengan dewa api dan air. Berhati – hatilah! Andai tidak, hati kita mendadak jadi tumpukan abu atau menjadi patung es yang siap dipecahkan setiap saat. Demikian, semakin tinggi aku mendaki, api semakin berubah warna. Pernah sesekali kulihat lidah api tujuh warna melintas di hadapanku. Seperti fenomena prominensa di permukaan matahari. Dan, pernah pula kutemukan air bah mengamuk yang menghantamku bertubi – tubi.

Tapi, aku bukanlah anak yang baru lahir dengan keahlian yang masih mentah. Aku dapat menumbuhkan insang–insang raksasa untuk menjaga keseimbanganku di laut lepas... Hempasan demi hempasan pernah kutaklukkan. Engkau tahu, aku selalu meminta pada batu–batu besar, supaya mereka menindiku…

Pada awalnya aku hanyalah makhluk hidup biasa, tapi begitu banyak roh keburukan menghantuiku. Hingga lama–kelamaan, aku menjadi kebal. Kekebalan-lah yang membuatku berani berteriak pada laut, agar kedalaman mereka yang paling kelam dan setan–setannya yang berada di palung paling dalam, agar selalu memburuku… Pada akhirnya, aku diarahkan untuk menjadi penikmat dari segala keburukan dari yang paling buruk. Sehingga, dengan demikian, apakah masih ada keburukan di dalam diriku, wahai manusia? Ketika aku kembali ke dunia kalian, semua hal yang kalian sebut baik dan buruk menjadi berguna dan harum bagiku. Serta, aku akan menjadi seseorang yang maha pemaaf bagi orang–orang yang paling dikucilkan dan orang- orang yang paling dihormati. Ya, kalian yang miskin dan yang kaya…

katharsis-holydiary[05012004(1)]

06 Desember 2008

Kebusukan Dari Buah Yang Masak

Aku memang terasing, tidaklah banyak tuntutan dari-ku. Tapi, begitu banyak hal yang mengepung serta mendorongku ke jurang–jurang yang curam. Bahkan, pernah aku tidak sadarkan diri karena menemukan jurang yang tidak berdasar. Di kedalaman yang mengambang, terpaksa sekali aku menempuh jalan hidup yang lebih sulit daripada mengalami kematian. Karena dalam dunia roh, disanalah jalan tersingkat untuk menggapai kembali puncak–puncak gunungku, dan akan kulampaui dia... melampaui ketinggian!Jalan jauh yang kuinginkan, dan ketika aku menemukan taman tempat tinggal Roh Semesta, aku memetik buah-buah yang telah masak di sana dan kulemparkan ke bumi... ke dalam dunia manusia. Buah-buah yang telah masak ini, harus mereka telan dan cerna! Karena andai tidak, ia akan menebarkan bau busuk yang harum kepada setiap pikiran terdalam. Dimana para manusia menyebutnya sebagai hati nurani... Busuk bagi keagungan pikiran tetapi harum bagi Roh Semesta

katharsis-holydiary[03012004(6)]

05 Desember 2008

...

Tangkai teratai menegak di udara beserta buahnya…
Putri malu bisa membedakan angin alami dan angin tiupan manusia. Mungkin hawa manusia tidak biasa baginya. Mengherankan! Ia dapat membedakan segala tiupan angin. Angin manusia mengandung maut bagi putri malu...

Menempa besi perlu ketabahan, demikian pula ketika kita menempa jiwa yang terdalam. Maka, pada akhirnya akan dihasilkan pedang kebijaksanaan yang membelah lautan jiwa...
Waktu yang paling banyak dipergunakan sapi adalah menghabiskan rumput, tidak pernah terjadi kalau sapi berdiri diam di atas padang rumput, kecuali aku dengan Roh Semesta-ku melintas di hadapannya…

Bau kayu yang melembab lama, tanda tertundanya sesuatu; kenangan tua-kah?
Demikian juga sang pemecah batu, haruslah demikian sabar untuk memecahkan setiap batu yang menyusun gunung. Sungguh pekerjaan yang berjiwa besar. Aku mengitari dan mendaki beberapa gunung, yang kutemukan hanyalah gunung- gunung yang digigit oleh tangan manusia. Seperti buah apel yang kita gigit pertama kali, itulah bentuknya, sebuah cekungan besar. Inilah gunung yang kutemui saat ini…


katharsis-holydiary[03012004(6)]

04 Desember 2008

Musik dan Jiwa

Baru saja kulihat seekor tupai menyelinap di antara akar pohon, gesit sekali dia!
Mata air mengalir tak berujung, adalah setara dengan jiwa terdalam. Sedangkan segala yang nyata di alam harus kita tirukan ke dunia manusia. Memainkan alat musik harus memiliki jiwa seperti air…


Irama musik memiliki sedikit kebohongan tentang sifat jiwa, tapi mengenai isi-nya, ia adalah jebakan yang paling berbahaya dan menjiwa. Ia dapat menjadikan pagar–pagar dari jiwa menjadi keras, ataupun lunak seperti tidak memiliki arah. Yang sesungguhnya, isi-nya yang terserap ke dalam dua kutub sifat tersebut lebih esensial dan menentukan. Di dalam isi itu, jiwa begitu lemah dan merindukan pegangan. Godaan ini akan semakin besar ketika kita menelusuri sebuah perjalanan panjang dan ketika kita tersangkut pada pesona sekuntum bunga mawar. Maka kebahagiaan besar akan menyambut hati kita. Sebaliknya bencana jiwa terbesar akan menyusul kemudian...

Demikian, maka sadarilah kehendak alam ini. Kita membutuhkan Roh Semesta yang mengawasi dari atas terhadap ranjau – ranjau alunan musik tadi.
Telah kuserap banyak hal di atas punggung batu yang menghadap mata air ini. Siang menjelang, lelah jiwa ini untuk berpikir...


katharsis-holydiary[03012004(6)]

03 Desember 2008

Roh Kekosongan

Kulihat mentari mulai menerobos di antara keramaian daun di atasku. Ya, seperti hujan permata, pilar–pilar permata-kah itu? Kematian daun-daun kecil dari salah satu pohon, adalah dengan maksud berdamai kembali dengan kelembutan permukaan...
Kelambaman yang berdiri dalam eksistensi, selalu menghasilkan hal–hal besar.

Aku juga menemukan rerumputan yang selalu hidup di sekitar batu. Seandainya ada di antara mereka tumbuh sendiri di hamparan tanah yang luas, akan kutitipkan roh kekosongan-ku kepadanya melalui angin. Atau jika mereka memang sedemikian haus, aku akan melangkah sendiri ke sana... menghampirinya!

katharsis-holydiary[03012004(6)]

02 Desember 2008

Dunia Kecil Dengan Petualang–Petualang Besar

Janganlah engkau melawan arus air, nyamuk awan… Dan kulihat kupu–kupu mungil terbang hinggap pada bunga–bunga di sampingku.
Daun berguguran dari pohon dikira kupu–kupu terbang.
Sebatang pohon, sebenarnya juga seperti sebuah dunia atau satu tubuh manusia. Ada kematian-kematian kecil di dalamnya. Dalam tubuh manusia ia berupa sel–sel.
Sekilas, ada hutan kecil yang tumbuh di punggung batu, tapi yang kutemukan adalah petualang-petualang besar di dalamnya, seperti diriku. Aku punya sahabat di sini, sang petualang–petualang yang bertubuh kecil.


“Janganlah engkau takut, kedatanganku kali ini hanya ingin duduk dan berbincang–bincang dengan kalian tentang kehidupan dunia ini, sahabat–sahabat-ku” aku menyapa mereka.
“Mendekatlah kepada-ku, akan kubagikan hawa besar jiwa terdalamku kepada kalian, supaya kalian dapat melanjutkan perjalanan memahami hidup dengan menemukan wadah yang lebih besar untuk menampung beban yang tanpa batas menuju Roh Semesta. Aku kekurangan beban, sehingga tersiksa. Akan kubagikan kekuranganku ini kepada kalian, agar aku terisi kekurangan yang lainnya lagi... Lalu, aku akan membagikannya lagi kepada petualang – petualang besar seperti kalian di tempat lain. Demikian seterusnya…”


Aku sebenarnya adalah pejalan siang dan malam. Langkah jiwaku telah sampai ke sana. Tapi, kotoran–kotoran dunia masih tertempel pada tubuhku, sehingga aku perlu kembali untuk membersihkannya!

katharsis-holydiary[03012004(6)]

Perjalanan Menuju Gunung III

Batang–batang bambu menjulur menuju suara air, benturan antar gelombang air dan bebatuan. Kenapa babatuan yang acak menghasilkan irama yang berulang? Ya, air yang lembut memiliki sifat yang lebih menjiwa. Pernahkah engkau mendengar bahwa manusia selalu dicerahkan oleh air. Karena air sangat dekat dengan segala yang lembut dan ringan, demikian juga dengan jiwa terdalam kita. Sangat mudah pula diterpa oleh angin–angin jahat...
Tapi, irama yang berulang terjadi karena adanya air dan bebatuan dari bumi. Ada golongan di antara bumi yang berwatak keras dan ada yang berwatak ringan, seperti air dan angin. Yang keras sangat dekat dengan tubuh kita sedangkan yang lembut tadi sangat dekat dengan jiwa kita.
Di antara pepohonan seperti ini, angin telah terpecah. Untuk memiliki sifat lembut seperti air, angin harus dipecah oleh tetumbuhan agar sampai pada sebuah kerendahan… seperti air layaknya…

Dedaunan membusuk dan yang baru lahir: bahwa kelahiran dan kematian sangat dekat.
Jamur–jamur berbentuk piring; kulihat tertempel pada batang pohon yang telah mati, kematian yang berguna… setengah tubuhnya adalah tanah.
Demikian, untuk mencapai kerendahan seperti air, api pun perlu disaring oleh dedaunan, agar ia menjadi lembut adanya…
Segalanya jadi lembut di kerendahan permukaan yang alami.

Dan segalanya yang jauh dari kerendahan alami akan menjadi tenaga yang besar. Oleh sebab itu, manusia yang hidup berpijak pada tanah, janganlah bercita–cita menjadi matahari yang panas... Panas yang terlalu besar di atas sana atau menjadi panasnya magma di pusat bumi. Karena hal demikian tidak sesuai dengan kelembutan dari kehendak permukaan, yang sebenarnya satu kehendak dengan kaki dan tubuh kita. Demikian pula dengan sifat–sifat air, angin, api, tanah, tumbuh – tumbuhan yang berada di permukaan.
Nyamuk berkaki awan… seperti awan yang bersahabat dengan air.
Lihatlah kadal hitam legam yang turun dari puncak menuju kerendahan. Ia juga terheran–heran melihat mata air yang mengalir…

Tadi, baru saja kutangkap, bahwa segala sesuatu di luar manusia juga memiliki ke-egoisan. Dalam dunia manusia semua itu berasal dari akal budi pikiran, sedangkan dalam dunia di luar manusia belum kunamakan. Kadang kurasakan tumbuhan dan hewan melanggar kehendak Roh Semestanya sendiri… demikian Roh Semestaku berbicara kepadaku!
Terutama pada tumbuhan, pernahkah engkau mendapati tumbuhan yang tidak mau menerima takdir kematiannya? Kita harus memiliki pengamatan yang melampaui ekspresi, seperti wajah dan tingkah laku pada manusia. Sesungguhnya, tumbuhan juga pernah gelisah. Sebaliknya, aku sangat menghargai tumbuhan yang berdiri sendiri di padang gurun. Karena ia seperti jiwa terdalamku, selalu sendiri… Dan tumbuhan seperti ini, jangan–jangan sudah memahami Roh Semesta-nya sendiri. Aku tahu itu… jiwa terdalamku membisikkan.


katharsis-holydiary(03012004(6)]

Perjalanan Menuju Gunung II

Kota belantara, tempat dimana segala pembicaraan lebih banyak berlangsung di bawah permukaan bumi, sedang yang menyeruak dari tanah dan yang menjulang ke atas adalah untuk menangkap kehidupan dari langit.

Aku mendapati sesuatu, bahwa segala sesuatu yang terlahir dan hidup di permukaan bumi haruslah mengalami kelahiran, kesakitan, perkawinan dan kematian. Dan, semua itu akan berlangsung dengan sangat singkat. Segala yang menjauh dari permukaan bumi, baik yang semakin terangkat ke atas dan yang semakin menyelam ke bawah akan memiliki kelangsungan hidup semakin lama dan memiliki kekuatan yang semakin besar.

Maka di ujung alam semesta ini, ada juga kelahiran dan kematian yang berlangsung sangat lamban. Untuk itu, roh semesta kita, selain ringan juga harus lamban… dan dengan demikian, ia akan menjadi besar seperti semesta alam.
Harus kulanjutkan gerak kaki ini. Masanya telah tiba, karena jika lebih lama lagi, daun–daun besar di sekelilingku akan melahapku… dan memaksaku tinggal bersama mereka.
Tidak lama, sampailah aku di sebuah mata air. Gunung yang bermata air. Diriku harus seperti mereka, tiada habisnya. Aku melihat semua tetumbuhan berebutan untuk berdiri di dekatnya dan termasuk aku secara tanpa sadar… Kenapa aku harus berhenti di tempat seperti ini?
Roh semesta-kah itu? Aku merasa sangat sehat berada di sini…


Jika semua mahkluk, hidup menyatu dengan hutan belantara. Kukatakan perkawinan akan terjadi tepat pada waktunya, mengikuti tubuh. Dan, kecantikan duniawi sirna di sini. Kecantikan eksistensi-lah yang berkilau, kecantikan untuk memahami langit dan bumi, yang bercita-cita hanya melanjutkan keturunan. Eksistensi untuk saling mencelupkan jiwa antar sesama, akan saling terbantu untuk melihat roh semesta di antara keduanya. Dan mereka juga, akan melihat kedamaian tumbuhan, tanah dan air yang menangis karena kebahagiaannya. Di sinilah kemungkinan terjadinya hubungan badan yang tanpa saling curiga… setelah melakukannya!

katharsis-holydiary(03012004(6)]

Perjalanan Menuju Gunung

Seperti mengayuh sepeda melewati beberapa gunung, demikian juga dengan takdirku; bahwa aku harus begitu banyak memanjat anak tangga untuk melihat terang di hadapanku. Semangatku adalah tanpa tujuan dan tanpa akar.
Maka, mulailah pendakianku pada hari ini. Dengan berjalan kaki, aku menelusuri jalan memutar pada gunung yang menanjak ini. Kita manusia, yang seharusnya hidup di permukaan tanah, haruskah berusaha keras untuk melawan ketingggian dari tanah?! Untuk memahami kebijaksanaan tanah di ketinggian, aku harus pergunakan kedua kakiku untuk memahaminya. Kaki yang dirasuki roh semesta adalah kaki yang tahu kapan harus berhenti dan kapan harus mendaki.

Perhentian di sebuah batu, kelelahan menyelimuti jiwaku, roh semesta tertutup, aku tahu itu. Beberapa saat, ia pun muncul dan menguap ke bawah untuk menjamah dan berkenalan dengan roh dingin dari batu…

“Berhati–hatilah! Ada dua mahkluk yang sedang berpelukan di atas punggungku” batu ini berbisik padaku. “Jangan engkau mengusik mereka, aku sendiri merasakan kebahagiaan tertinggi mereka”, lanjutnya…
“Aku tahu itu batu yang bijak, aku juga memahami seperti halnya engkau memahami… Memahami akan kedinamisan alam menghasilkan anak alam. Sang lintah menghasilkan anak lintah…” aku menambahkan.


[katharsis-holydiary(03012004(6)]

Saat – saat Kemunculan Roh Semesta

Adalah pertanyaan besar, bahwa mutasi pikiran dan tubuh bagi makhluk yang lahir adalah barasal dari mental manusia yang berkisar dari yang nyata sampai dengan intuitif.

Kudapati semalam, bahwa setiap wajah manusia yang aku tatapi membuat aku seperti berada di antara hewan–hewan, kodok dan ikan yang kubayangkan. Kehidupan begitu sederhana dan keragaman perkawinan pada manusia, yang dengan mudah kusamakan seperti hewan… Apakah eksistensi adalah jalan menuju insting hewan?

Perjalanan jauh telah membawaku sampai pada perhentian ini, bahwa kita memerlukan padang rumput yang hijau dengan keadaan iklim yang lembab dan air mengalir untuk melakukan perkawinan yang menghasilkan keturunan yang dikehendaki alam…
Musim kawinku sudah lama berlangsung, ibarat hewan, aku memahami benar bahwa hal yang paling indah dan perkawinan yang paling menyatu dengan semesta selama ini adalah ada pada makhluk yang lahir tepat pada musimnya. Inilah kisah cinta yang paling romantis, wahai para pujangga penyanjung cinta. Sesungguhnya, cinta dua makhluk di bumi yang paling bahagia ada di luar manusia… di kedalaman hutan dan lautan yang belum terjamah oleh tangan–tangan pikiran manusia.

Ya… saat ini aku sangat mudah berubah. Kadang aku dapat melunakkan perutku untuk menjadi cacing yang hidup di dalam tanah. Kadang kulitku bisa mengeras untuk menjadi hewan di atas tanah. Kadang tumbuh pula sayap–sayap pada punggungku untuk terbang bersama burung di udara… Tanah dan lautan, bumi dan langit, kalian semua memiliki waktu untuk menentukan kapan sesuatu akan berbuah, aku memahami itu! Inikah kiranya eksistensi terdalam yang engkau ajarkan? Wahai Roh Semestaku…

Bahwa pada akhirnya, semuanya memiliki harga diri yang sama, kapan harus lahir dan kapan harus mati? Ya ada memang, sering kulihat beberapa mahkluk yang terlahir dengan takdir untuk dibunuh. Maka kukatakan: kemungkinan jalan terbesar untuk melihat bayangan roh semesta ada pada perkawinan dua anak manusia. Di saat itu, peluang paling besar manusia akan menjadi hewan pula… Dan satu lagi, pada saat-saat menjelang kematian. Roh semesta kadang menampilkan dirinya dengan utuh. Janganlah terkejut, perlu kepasrahan yang luar biasa bagimu makhluk manusia, yang selalu mengekori jalan daripada buah–buah pikiran… untuk menerimanya.


[katharsis-holydiary(03012004(6)]