Seperti mengayuh sepeda melewati beberapa gunung, demikian juga dengan takdirku; bahwa aku harus begitu banyak memanjat anak tangga untuk melihat terang di hadapanku. Semangatku adalah tanpa tujuan dan tanpa akar.
Maka, mulailah pendakianku pada hari ini. Dengan berjalan kaki, aku menelusuri jalan memutar pada gunung yang menanjak ini. Kita manusia, yang seharusnya hidup di permukaan tanah, haruskah berusaha keras untuk melawan ketingggian dari tanah?! Untuk memahami kebijaksanaan tanah di ketinggian, aku harus pergunakan kedua kakiku untuk memahaminya. Kaki yang dirasuki roh semesta adalah kaki yang tahu kapan harus berhenti dan kapan harus mendaki.
Perhentian di sebuah batu, kelelahan menyelimuti jiwaku, roh semesta tertutup, aku tahu itu. Beberapa saat, ia pun muncul dan menguap ke bawah untuk menjamah dan berkenalan dengan roh dingin dari batu…
“Berhati–hatilah! Ada dua mahkluk yang sedang berpelukan di atas punggungku” batu ini berbisik padaku. “Jangan engkau mengusik mereka, aku sendiri merasakan kebahagiaan tertinggi mereka”, lanjutnya…
“Aku tahu itu batu yang bijak, aku juga memahami seperti halnya engkau memahami… Memahami akan kedinamisan alam menghasilkan anak alam. Sang lintah menghasilkan anak lintah…” aku menambahkan.
[katharsis-holydiary(03012004(6)]
02 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar